Sobat Zakat yang dirahmati Allah SWT, dalam
khazanah fiqih Islam ada istilah yang sering dikemukakan oleh para ulama dan
fuqaha (ahli fikih) yaitu talfiq. Maknanya adalah menggabungkan dua atau lebih
pendapat mazhab berbeda dalam satu ibadah. Contohnya, orang yang membasuh
beberapa helai rambut ketika wudu, mengikuti mazhab Syafi’i, dan ketika
menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudunya lagi, mengikuti mazhab Abu
Hanifah, kemudian ia shalat. Apabila dia melakukan hal seperti itu apakah
shalatnya sah?
Ulama berbeda pendapat tentang permasalahan
talfiq. Sebagian ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi ada yang melarang
melakukannya. Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir menyatakan: “Sesungguhnya seorang
(awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada siapa yang disukainya.
Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang paling ringan
baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada dalil naqli maupun
aqli yang melarangnya. Dan Ketika seseorang (awam) mencari-cari yang paling ringan
baginya dari pendapat seorang mujtahid, saya tidak mengetahui dari unsur
syariat ini yang mencelanya, sementara Nabi SAW menyukai sesuatu yang
meringankan umatnya.” (At-Tahrir ma’a syarhihi: 3/350).
Mereka yang membolehkan mempunyai alasan bahwa
agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan kebolehan talfiq termasuk dalam
kategori memudahkan manusia, khususnya orang-orang awam. Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(Al-Baqarah: 185).
Ada juga yang dilarang bukan menurut
dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya sehingga yang asalnya
boleh, menjadi terlarang.
Jenis kedua ini ada tiga macam:
1. Menyengaja hanya mencari-cari yang
paling ringan (tatabbu’ ar-rukhash). Yaitu seseorang mengambil apa yang paling
ringan dari setiap mazhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan alasan kuat. Hal
ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri
dari beban-beban syariat.
2. Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum
atau ketetapan hakim (pemerintah), karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan
untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan.
3. Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan
apa yang telah diamalkannya secara taklid atau meninggalkan perkara yang telah
disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang ditaklidinya. (Lihat Umdatut Tahqiq:
121)
Dikarenakan talfiq ini sangat mungkin
terjadi dalam masalah-masalah furu’ (cabang), maka harus ada perincian mengenai
hukum masalah- masalah furu’ tersebut.
Pertama, berbagai perkara furu’ yang
dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang
disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf. Contohnya dalam perkara
ibadah-ibadah mahdhah.
Kedua, berbagai perkara yang dilarang, yang
bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling
selamat. Karena Allah tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya mudharat
(bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal
itu, kecuali dalam keadaan darurat menurut syariat.
Ketiga, berbagai perkara furu’ yang
berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba. Contohnya masalah
muamalah (interaksi antar manusia), penegakan hudud (hukum pidana), dan perlindungan
darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan dan
kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap mazhab,
pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia,
kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan
mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat. Ditambah
lagi, karena kemaslahatan- kemaslahatan manusia berubah seiring dengan
perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan Batasan maslahah
adalah setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu
penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap
setiap kebaikan yang dibidik oleh syariat, baik melalui Al Quran, sunnah atau
ijma, atau yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah (yang bisa
diterima).
Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya
melakukan adalah bahwa setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan- landasan
syariat dan dapat menghancurkan aturan serta hikmahnya, maka hal itu dilarang. Terutama
apabila hal tersebut sekedar bertujuan mempermainkan agama dan rekayasa belaka untuk
melepaskan diri dari beban syariat (hilah).
Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan,
hikmah, dan aturan syariat untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan
memfasilitasi kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin
segala kemaslahatan untuk mereka dalam urusan muamalah (interaksi antara mereka),
maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.
Wallahu a’lam bishshawwab