Oleh Ustadz Kardita Kintabuwana, Lc, M.A.
Sobat Zakat yang dirahmati Allah SWT, dalam khazanah fiqih Islam ada istilah
yang sering dikemukakan oleh para ulama dan fuqaha (ahli fikih) yaitu talfiq. Maknanya
adalah menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab berbeda dalam satu ibadah.
Contohnya, orang yang membasuh beberapa helai rambut ketika wudu, mengikuti
mazhab Syafi’i, dan ketika menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudunya lagi,
mengikuti mazhab Abu Hanifah, kemudian ia shalat. Apabila dia melakukan hal
seperti itu apakah shalatnya sah?
Ulama berbeda pendapat tentang permasalahan
talfiq. Sebagian ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi ada yang melarang
melakukannya. Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir menyatakan: “Sesungguhnya
seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada siapa yang
disukainya. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang
paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada
dalil naqli maupun aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang (awam)
mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat seorang mujtahid, saya
tidak mengetahui dari unsur syariat ini yang mencelanya, sementara Nabi SAW
menyukai sesuatu yang meringankan umatnya.” (At-Tahrir ma’a syarhihi: 3/350).
Mereka yang membolehkan mempunyai alasan
bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan kebolehan talfiq termasuk dalam
kategori memudahkan manusia, khususnya orang-orang awam. Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(Al-Baqarah: 185).
Baca Juga: Qurban Wujud Cinta
Ada juga yang dilarang bukan menurut
dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya sehingga yang asalnya
boleh, menjadi terlarang.
Jenis kedua ini ada tiga macam:
1. Menyengaja hanya mencari-cari yang
paling ringan (tatabbu’ ar-rukhash). Yaitu seseorang mengambil apa yang paling
ringan dari setiap mazhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan alasan kuat. Hal
ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri
dari beban-beban syariat.
2. Talfiq yang mengakibatkan penolakan
hukum atau ketetapan hakim (pemerintah), karena ketetapannya dapat
menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan.
3. Talfiq yang mengakibatkan seseorang
meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid atau meninggalkan
perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang ditaklidinya.
(Lihat Umdatut Tahqiq: 121)
Dikarenakan talfiq ini sangat mungkin
terjadi dalam masalah-masalah furu’ (cabang), maka harus ada perincian mengenai
hukum masalah- masalah furu’ tersebut.
Pertama, berbagai perkara furu’ yang
dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang
disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf. Contohnya dalam perkara
ibadah-ibadah mahdhah.
Kedua, berbagai perkara yang dilarang, yang
bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling
selamat. Karena Allah tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya mudharat
(bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal
itu, kecuali dalam keadaan darurat menurut syariat.
Ketiga, berbagai perkara furu’ yang
berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba. Contohnya masalah
muamalah (interaksi antar manusia), penegakan hudud (hukum pidana), dan
perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan
kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari
setiap mazhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia, kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu
akan mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh
syariat. Ditambah lagi, karena kemaslahatan- kemaslahatan manusia berubah
seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban
mereka. Dan Batasan maslahah adalah setiap perkara yang menjamin perlindungan
terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syariat,
baik melalui Al Quran, sunnah atau ijma, atau yang lebih dikenal dengan
mashalih mursalah maqbulah (yang bisa diterima).
Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau
tidaknya melakukan adalah bahwa setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-
landasan syariat dan dapat menghancurkan aturan serta hikmahnya, maka hal itu
dilarang. Terutama apabila hal tersebut sekedar bertujuan mempermainkan agama
dan rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syariat (hilah). Sedangkan
segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah, dan aturan syariat untuk
membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan
kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk
mereka dalam urusan muamalah (interaksi antara mereka), maka hal itu
dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.
Wallahu a’lam bishshawwab