HUKUM MAKAN DI RESTORAN SEBELUM MEMBAYAR

oleh | Apr 18, 2023 | Inspirasi

HUKUM 
MAKAN DI RESTORAN SEBELUM MEMBAYAR

Oleh: Ustaz Kardita Kintabuwana, Lc.,M.A.

Sahabat Zakat, pada dasarnya dalam
transaksi muamalah segala sesuatunya boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
menjelaskan bahwa hal tersebut dilarang atau diharamkan. Sebagaimana kaidah
fikih menyatakan: “Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga
ada dalil yang mengharamkannya.” Akan tetapi, dalam transaksi muamalah ada ketentuan
rukun dan syarat yang harus dipenuhi yang berpengaruh dengan sah atau tidaknya suatu
transaksi. Di samping itu, ajaran Islam memberikan batasan-batasan kepada
pelaku bisnis, agar tidak ada yang dirugikan, baik itu dari pihak pembeli
maupun dari pihak penjual, karena prinsipnya transaksi harus dilakukan secara
adil.

Demikian pula dalam perniagaan dan
transaksi muamalah sangat ditekankan faktor rasa suka sama suka di antara kedua
belah pihak. Dengan demikian, maka akan menghasilkan keridhaan dari
masing-masing penjual dan pembeli. Karena dalam pandangan Islam, transaksi harus
dilakukan secara sukarela ‘an taradhin minkum dan memberikan keuntungan bagi para
pelakunya. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa Ayat 29 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu.”

Baca juga: Tips mudik aman dan tenang naik pesawat

Ditinjau dari sudut fikih Islam, salah satu
syarat bagi objek dalam jual beli adalah kejelasan barang dan harganya.
Maksudnya meliputi ukuran, takaran, timbangan, jenis, dan kualitas barang. Itu
semua merupakan sesuatu yang harus diketahui secara jelas dan transparan. Hal ini
bertujuan agar terhindar dari kerugian setelah melakukan transaksi jual beli
tersebut. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat (jenis pembayaran),
maupun jumlahnya. Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah keduanya tidak
diketahui, maka jual beli batal, karena mengandung unsur gharar
(ketidakjelasan). Oleh karena itu, transaksi jual beli suatu barang tanpa
pencantuman harga, di mana barang tersebut dimanfaatkan terlebih dahulu sebelum
membayar harganya, pada dasarnya merupakan transaksi yang mengandung gharar.
Karena barang yang diperjualbelikan (objek jual beli) tidak diketahui dengan
jelas harganya. Ad-Dasuqi dalam Hasyiyahnya (fiqh Maliki) mengatakan: “Harga
dan barang harus jelas, diketahui penjual dan pembeli. Jika tidak, maka
transaksinya batal.” (Hasyiyah ad-Dasuqi, 3/15). Ibnu Abidin (ulama Hanafi)
mengatakan: “Syarat sahnya jual beli adalah diketahuinya ukuran barang dan harga
barang.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/529).

Para ulama sepakat bahwa gharar berat (mengandung
kerugian yang banyak) tidak diperbolehkan dan dilarang dalam sebuah transaksi.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2,
hal. 125, beliau berkata: “Para pakar fikih sepakat bahwa gharar yang
mengandung kerugian yang banyak itulah yang tidak boleh. Sedangkan jika hanya
sedikit, masih ditolerir (dibolehkan)”.

Baca juga: Sedekah dan doa sebelum safar bisa tolak bala

Lantas bagaimana dengan hukum makan di
restoran sebelum membayar dan tanpa pencantuman harga? Apakah termasuk di dalam
transaksinya gharar yang berat atau ringan?

Sudah menjadi sesuatu yang lumrah di
beberapa tempat makan bahwa ketika membayar belakangan merupakan tradisi dan
kebiasaan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi kedua belah pihak. Pihak
penjual bisa menghitung harga makanan berdasarkan jenis dan ukuran porsi
makanan yang diambil, sehingga dia tidak mengalami kerugian. Sedangkan bagi konsumen
manfaatnya dia tidak perlu menunggu lama dan bebas menentukan macam dan ukuran
porsi yang diinginkan. Meskipun harga makanan tidak dicantumkan, namun pembeli sudah
memahami bahwa pada umumnya harga yang diberikan sesuai dengan harga standar. Sehingga
walaupun terjadi gharar di dalamnya, namun relatif ringan karena kerugian yang terjadi
juga kecil, apalagi di dalamnya terdapat kemaslahatan bersama.

Adapun akad yang terjadi berdasarkan
tradisi dalam suatu masyarakat. Artinya, jika dalam suatu masyarakat sudah
menjadi tradisi makan dahulu baru bayar belakangan, maka ia sama saja seperti
akad. Prinsip tradisi ini diakui oleh para ulama ushul dengan kaidah “Al-‘Adah Muhakkamah”
bahwa ‘tradisi dalam suatu masyarakat dapat menjadi timbangan hukum’.

Dengan demikian, masalah makan di restoran sebelum
membayar tidak serta-merta mengakibatkan jual beli tersebut menjadi batal,
karena transaksi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit untuk
dihindari. Apalagi ada kemaslahatan yang diperoleh oleh masing-masing pihak
dari transaksi tersebut. Karena sudah menjadi kebiasaan atau adat masyarakat,
maka hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak melanggar ketentuan hukum syariat.
Meskipun pada kenyataannya transaksi tersebut mengandung gharar ringan yang
masih bisa ditoleransi.

Akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan
kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakanya sesuai dengan kesepakatan.
Adanya itikad baik dalam akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan,
tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Tunaikan zakat lebih mudah mudah via Rumah Zakat, klik aja: https://www.rumahzakat.org/donasi/category/zakat

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0