HUKUM HARTA DARI SPJ YANG DIPALSUKAN

oleh | Aug 11, 2010 | Konsultasi Islami

Oleh Kardita Kintabuwana, Lc, MA
Dewan Syariah Rumah Zakat

Assalamu`alaykum.wr.wb. Ust Kardita yang dirahmati Allah, saya seorang PNS, dan biasanya mendapatkan uang honor, tunjangan, komisi dan lain sebagainya yang SPJ-nya dipalsukan. Hal itu agar realisasi anggaran kantor bisa 100%. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana status uang tersebut, sementara saya tidak bisa menolak pemberian itu dengan alasan menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan kerja. Kemudian harus dikemanakan uang tersebut, boleh kah di infaq-an untuk fakir miskin dan kepentingan umum atau harus saya kembalikan ke kas negara?

Riyan, Medan

Sobat Riyan yang budiman, Islam selalu memerintahkan bahwa sumber harta, proses memperolehnya, dan pertumbuhannya harus halal dan baik. Allah SWT berfirman: “Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah: 168).

Selain itu, Allah SWT telah melarang semua bentuk dan jenis pendapatan dan harta yang haram dan buruk, baik sumber maupun proses perolehannya. Sebab, semuanya itu merupakan tindakan aniaya terhadap orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188).

Pada zaman sekarang terdapat banyak macam harta yang diperoleh dengan cara batil (haram) dan tidak sesuai dengan syariat, misalnya: harta riba, suap, ghasab, penipuan, pemalsuan, jual beli jabatan, uang palsu, judi, pencopetan, pencurian, cuci uang (money laundering), korupsi, hasil dari jual beli barang yang diharamkan, seperti babi, narkoba, minuman keras, dan lain sebagainya.

Jadi, harta dari hasil SPJ yang dipalsukan  pada dasarnya merupakan harta yang diperoleh dari cara yang tidak halal atau haram. Oleh karena itu hukumnya berlaku sebagaimana harta-harta haram lainnya. Perlu diketahui bahwa harta haram adalah semua harta yang secara hukum syariat dilarang dimiliki atau memanfaatkannya, baik haram karena bendanya mengandung mudharat atau kotoran seperti mayit dan minuman keras, atau haram karena faktor luar, seperti adanya kesalahan dalam cara pengalihan milik, seperti mengambil sesuatu dari pemiliknya tanpa izin (merampok,korupsi), mengambil dari pemilik dengan cara yang tidak dibenarkan hukum, meskipun dengan kerelaan pemiliknya, seperti transaksi riba dan sogok.

Para ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang haram pada hakekatnya bukanlah harta miliknya dan tidak boleh dimiliki, bahkan wajib menyalurkan dan menyedekahkannya untuk proyek-proyek  kebajikan (Fatwa Syeikh Abdullah bin Baz; Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 137-138, No. 141; Fatawa Muashirah DR. Yusuf Al-Qardhawi, jilid 2, hal 410-411). DR. Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan jenis-jenis proyek kebajikan sangat banyak antara lain seperti santunan fakir miskin, yatim piatu, ibnu sabil, dan keperluan jihad fisabilillah, penyebaran dakwah, pembangunan masjid, pembangunan pusat-pusat  dakwah Islam, percetakan buku dan majalah Islami, pembangunan dan perbaikan fasilitas-fasilitas umum, dan lain sebagainya (Fatawa Muashirah DR. Yusuf Al-Qardhawi, jilid 2, hal 410-411). Namun perlu digarisbawahi bahwa penyaluran tersebut bukan dalam rangka sedekah yang mengharapkan pahala, melainkan merupakan jalan keluar dalam pemanfaatan harta tersebut untuk kemaslahatan umum.

Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Ketahuilah bahwa Shadaqah dengan harta haram mencakup 2 hal:
Pertama: Si pelaku bersedekah untuk dirinya, maka perbuatan itu tidak akan diterima sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasul. Demikian pula ia tidak akan mendapat pahala, bahkan berdosa dengan memberikan harta yang bukan miliknya tanpa izin; pemilik harta tersebut pun tidak mendapat pahala karena dia tidak meniatkan untuk itu. Itulah pendapat sejumlah ulama diantaranya: Ibnu ‘Aqil.
Kedua: Si pelaku bersedekah untuk pemilik harta itu apabila tidak memungkinkan untuk mengembalikannya kepada si pemilik maupun ahli warisnya. Hal ini boleh dilakukan berdasarkan pendapat sebagian besar ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dll. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat bahwa harta haram sebaiknya disimpan dan tidak boleh disedekahkan sampai betul-betul ada kejelasan siapa pemiliknya. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam: 86-90)

Jadi kesimpulannya bahwa harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya (kas Negara) atau  kalau tidak memungkinkan maka boleh diberikan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum atas nama pemiliknya.

Wallahu a’lam bish Shawab

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0