Zakat menjadi salah satu pilar agama.
Perintah zakat kerap disandingkan dengan shalat di dalam Alquran. Abu Bakar
ash-Shidiq saat diangkat menjadi khalifah, bersikap tegas terhadap orang-orang
yang menolak kewajiban zakat. Kebijakannya saat itu, yakni diperangi. Karena,
mengingkari zakat sama artinya dengan mengingkari bangunan iman.
Zakat selain bermakna tumbuh dan berkembang
secara bahasa, juga bisa bermakna menyucikan. Hal ini terlihat dari surah
ash-Syams ayat 9, Qad aflaha man zakkaha, (beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa).
Zakat dalam hal ini bermakna menyucikan
harta. Dalam beberapa nash Alquran dan hadis, secara tegas disebutkan jika
harta yang kita miliki hendaknya disucikan dengan membayar zakat. Allah SWT
berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS at-Taubah [9]: 103).
Dalam hadis juga disebutkan, “Sesungguhnya
Allah SWT mewajibkan zakat sebagai penyucian harta.” (HR Bukhari).
Kemudian muncul pertanyaan, jika zakat
digunakan sebagai penyucian harta, apakah harta haram termasuk salah satu yang
bisa disucikan dengan zakat?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan
bahwa zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara
perolehannya. Secara tegas, dalam fatwa No 13 Tahun 2011, MUI menyebut harta
haram tidak menjadi objek wajib zakat.
Kewajiban bagi pemilik harta haram, yakni
segera bertobat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram itu.
Komisi Fatwa MUI mendasarkan keputusan tersebut pada firman Allah SWT, “Hai
orang yang beriman, nafkahkanlah
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS
al-Baqarah [2]: 267).
Harta haram, baik zat maupun cara
memperolehnya, merupakan sesuatu yang tidak layak untuk dibelanjakan di jalan Allah. Karena, Allah hanya menerima
sesuatu yang baik. “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali
yang baik.” (HR Muslim).
Secara tegas juga disebutkan harta korupsi
termasuk dari harta rampasan perang tidak bisa dinafkahkan. “Allah SWT tidak
menerima sedekah dari harta korupsi rampasan perang.” (HR Muslim).
Bahkan, dalam sebuah hadis riwayat Baihaqi
dan Hakim, seseorang yang berinfak dengan harta haram justru akan mendapatkan dosa. Pendapat ini dikuatkan
oleh Ibnu Nujaim dalam kitabnya al-Bahru ar-Raaiq yang tidak mewajibkan zakat
atas harta haram meskipun sudah mencapai satu nisab. “Kewajibannya adalah
mengembalikan kepada pemiliknya atau ahli waris jika harta itu curian atau
disedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin jika tidak diketahui asal
usulnya.””
Imam Qurthubi menjelaskan sedekah dan zakat
dari harta haram tidak diterima karena pada hakikatnya harta tersebut bukan hak miliknya. Dengan
demikian, pemilik harta haram dilarang menggunakan harta tersebut dalam bentuk
apa pun, termasuk sedekah dan zakat.
Seandaianya sedekah dari harta haram
diperbolehkan, ibaratnya mengumpulkan perintah dan larangan dalam satu amal.
“Dan, itu sesuatu yang mustahil,” kata Imam Qurthubi..
Zakat, ibarat persembahan untuk Allah SWT.
Jika mempersembahkan sesuatu yang buruk, sama saja dengan menghina Allah SWT.
Yang datang bukan rahmat, melainkan justru azab.
Tunaikan zakat di Rumah Zakat, klik: https://www.rumahzakat.org/l/ringanberzakat/
Sumber : republika.co.id