Manusia memang tidak bisa lepas dari rasa suka dan tidak suka. Setiap orang tentu memiliki rasa senang atau tidak senang terhadap sesuatu. Celakanya, hal yang disukai itu dapat bersifat negatif. Nah, favoritisme jenis inilah yang bisa mengundang bahaya bagi kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, Anda perlu bersikap waspada dalam meraih karier di suatu perusahaan. Jangan sampai terjerumus dalam perusahaan yang didominasi oleh para eksekutif yang bersikap otoriter. Para eksekutif yang sok kuasa ini sering membangun “komplotan kerja sama” dengan karyawan lain yang bersedia menjadi kaki tangannya.
Frustrasi
Kalau perusahaan sudah diwarnai dengan pelbagai bentuk komplotan, sudah barang tentu suasananya menjadi tidak sehat. Lingkungan kerja semacam ini bisa membuat karyawan yang benar-benar memiliki kemampuan tapi berada di luar lingkup favoritisme menjadi frustrasi. Perusahaan semacam ini adalah “neraka” bagi mereka yang ingin menggapai karier lewat kemampuan diri yang sejati.
Biasanya, eksekutif otoriter yang menyukai favoritisme gemar melimpahkan tugas yang jelas menunjukan tanda-tanda akan membuahkan hasil baik kepada “anak emas”-nya. Sementara itu, para “anak tiri” diberi tugas yang sulit. Bahkan, tak jarang, karyawan malang ini dibebani suatu mission impossible. Sudah dapat dipastikan mereka ini akan gagal dalam menjalankan tugasnya. Pihak atasan lalu punya alasan untuk menyingkirkan karyawan yang “tak becus” semacam ini.
Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila sang “anak emas” cepat meroket kariernya, sedangkan si “anak tiri” berjalan terseok-seok atau malah terdepak keluar. Tatkala karyawan favorit dipromosikan atau dianggap berjasa, sang Godfather akan membanggakan betapa besar prestasi yang telah dicapai “anak emas”-nya itu. Di lain pihak, bila si “anak tiri” berani mengeluh atau membuat ulah, ia akan dihadapkan dengan segala kelemahan dan kekurangannya sendiri. Sering kali pihak terakhir diliputi oleh teka-teki perihal kekurangannya dalam melaksanakan tugas meskipun ia telah berusaha keras dan penuh inisiatif.
Penunjukan seseorang atas dasar favoritisme untuk menduduki posisi baru yang lebih tinggi bisa mendatangkan “heboh” besar. Semakin tidak begitu diperlukan posisi baru tersebut, semakin njilimet pula deskripsi posisi/jabatan tersebut.
Karyawan favorit mungkin juga diizinkan untuk menentukan dan menghimpun sendiri stafnya. Hal ini bertujuan agar kredibilitasnya tampak meyakinkan di mata staf, sekaligus mengukuhkan kedudukannya. Ia tak bakal bergeming bila ada pihak lain yang mencoba untuk mendongkel posisinya. Tepat pada saat yang telah ditentukan, staf akan dipromosikan atau diberi suatu penghargaan. Lagi-lagi bertujuan agar kedudukan pimpinan yang telah menanam budi dengan memberikan pekerjaan menjadi semakin kokoh dan kuat.
Masalah tersembunyi
Sebagian dari para eksekutif memang sering main pat-gulipat dalam menjalankan tugasnya. Kekurangan mereka di bidang manajemen disembunyikan di balik kepandaiannya mencari muka. Masalah masalah penting yang harus dihadapinya juga tersembunyi di balik perlakuan VIP dari pihak bawahan. Tetapi, di tingkat jabatan yang lebih rendah, masalah sekecil apa pun akan terbeber dengan jelas.
Kekurangan sumber daya manusia yang memadai di bagian gudang, misalnya, merupakan ancaman kronis bagi karyawan yang membutuhkan tenaga tambahan. Namun, bila sang eksekutif puncak membutuhkan tenaga dari sumber daya yang sama, mendadak sontak para karyawan ini bisa menghentikan kesibukannya. Tangan-tangan mereka dengan serta merta memberikan prioritas untuk memenuhi kebutuhan atasan. Di tengah suasana kekurangan tenaga terampil, kebutuhan atasan tetap dinomorsatukan. Tidak perlu heran, atasan ini merupakan tokoh favorit. Barang siapa ingin kariernya mencuat, ia harus pandai-pandai menyenangkan hati atasan yang menjadi tokoh favorit, tahu sendiri akibatnya. Anda merasa kurang adil, barangkali? Tetapi, memang begitulah kenyataannya.
Kesewenang-wenangan dalam sistem favoritisme tampak juga pada sikap menyepelekan jasa seorang karyawan. Atasan otoriter cenderung tidak bisa dan tidak mau menghargai jasa bawahannya. Atasan ini cenderung menghambat/menghalangi usaha mempromosikan karyawan yang berjasa bila karyawan yang berjasa tersebut tak bisa “melayani” dirinya dengan baik alias bukan karyawan favorit.
Sistem famili dapat pula memperparah keadaan perusahaan yang dilanda favoritisme. Putra/putri, keponakan atau menantu salah seorang tokoh otoriter tak jarang dijadikan sebagai tokoh favorit. Masih mending bila mereka ini memang memiliki kemampuan yang memadai. Bila tidak, suasana kerja akan dipenuhi dengan intrik-intrik keji yang penuh tipu muslihat. Perusahaan semacam ini akan dipenuhi oleh oknum-oknum yang pandai menjilat. Karyawan yang ingin meraih karier lewat jalan lurus akan tercabut dari akar perusahaan yang penuh dengan belitan intrik favoritisme. Tiada jalan lain lagi. Ia mesti cepat-cepat cabut dari perusahaan tersebut dan memasuki perusahaan lain yang bebas favoritisme.
Penanggulangan
Sistem favoritisme yang sudah sangat kronis bisa mengakibatkan tragedi bagi perusahaan. Di samping itu juga dapat memandekan karir seseorang yang sebenarnya memiliki kelebihan tersendiri. Oleh karena itu, diperlukan cara pencegahan/penanggulangan secara tepat.
Penanggulangan yang cukup efektif dapat dimulai dengan meniadakan kondisi-kondisi yang bisa menghambat karyawan dalam meningkatkan tanggung jawab pribadi. Di samping itu, pihak top management perlu menekankan pentingnya usaha peningkatan produktivitas dan inovasi tekhnologi. Para manager/eksekutif diminta untuk menunjukan dirinya sebagai kaum profesional yang mendapat kepercayaan penuh. Mereka ini harus dapat dan berani menggerakan bawahan untuk memecahkan pola prilaku lama yang keliru, memperluas cakrawala berpikir, dan meningkatkan prestasi kerja.
Hal lain yang kurang pentingnya adalah keterbukaan sikap eksekutif terhadap pendapat orang lain. Para eksekutif harus memberikan dukungan terhadap bawahannya, terutama pada mereka yang berprestasi bersikap jujur dan mau mengambil risiko. Setiap orang dan setiap posisi/jabatan seyogianya dapat memberikan nilai tambah terhadap produk/jasa perusahaan.
Dalam kaitan dengan sistem famili, sedapat mungkin hindarilah pengangkatan seseorang pada jabatan penting hanya yang bersangkutan masih keluarga bos. Kalau toh terpaksa, anggota keluarga ini harus benar benar memiliki kemampuan yang benar-benar memadai dalam menjalankan tugasnya. Bila tidak, ia hanya akan menjadi macan ompong yang mengobarkan api favoritisme. Bapak yang pandai belum tentu menurunkan anak yang pandai pula. Tetapi, anak yang cerdik tak harus memiliki bapak yang juga cerdik. Bagi perusahaan yang tak tahu siapa harus menduduki posisi apa, tragedi keruntuhan hanyalah soal waktu.
http://henkynjotowidjaja.com/2008/11/24/hati-hati-bahaya-favoritisme