Allah Ta’ala berfirman, “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al-Hadiid: 16).
Allah Ta’ala juga berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu`minuun: 1-2)
Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dzat Yang memiliki keperkasaan, kekuasaan, kesombongan, dan keagungan. Dzat Yang seluruh para hamba tunduk karena keagungan-Nya, Yang seluruh suara khusyuk karena kewibawaan-Nya, Yang seluruh orang-orang kuat menjadi hina karena kemuliaan-Nya, dan Yang seluruh makhluk butuh kepada-Nya.
Kekhusyukan adalah berdirinya hati di hadapan Tuhan dengan ketundukan dan kehinaan. Tempat kekhusyukan adalah hati, dan buktinya nampak pada anggota-anggota tubuh, karena sesungguhnya kebaikan adab bagian luar adalah tanda kebaikan adab bagian dalam. Kesempurnaan di luar tubuh adalah hasil dari kesempurnaan dalam hati.
Kekhusyukan adalah makna yang tersusun dari pengagungan, rasa cinta, kehinaan, dan rasa takut di hadapan Tuhan Pencipta.
Kekhusyukan ada empat macam
Pertama, tunduknya hati dan anggota-anggota tubuh serta rasa takut yang disebabkan oleh pengawasan Allah terhadapnya, yaitu kedudukan Tuhan terhadap hamba-Nya dengan ilmu, kemampuan, dan Rububiyyah. Rasa takut seorang hamba terhadap kedudukan tersebut pasti akan mendatangkan kekhusyukan hati bagi dirinya, tidak bisa tidak. Setiap kali hati mengingat akan keagungan, kemuliaan, keindahan, dan kebaikan Tuhan, maka kekhusyukan-nya akan menjadi semakin besar.
Kedua, tunduk terhadap perintah, yaitu menerimanya dengan kerendahan, kepatuhan, dan pengamalan yang disertai dengan menampakkan kelemahan dan rasa butuh akan hidayah terhadap perintah sebelum melaksanakannya, rasa butuh akan pertolongan ketika melaksanakannya, dan rasa butuh akan pengabulan setelah melaksanakannya.
Berserah diri terhadap hukum takdir, yaitu menerimanya tanpa kemurkaan, kebencian, dan penolakan.
Ketiga, mengawasi kesalahan diri dan amal perbuatan, yaitu dengan menantikan nampaknya kekurangan dan aib dirimu serta amal perbuatanmu. Hal tersebut dapat menjadikan hati khusyuk lantaran melihat aib dan kekurangan dirimu serta amal-amal perbuatanmu seperti sifat sombong, bangga, riya’ (pamer), kurang yakin, bercabangnya niat, tidak melaksanakan amalan sesuai dengan yang diridhai oleh Tuhan, dan melihat keutamaan setiap orang yang memiliki keutamaan atas dirimu. Sehingga kamu memenuhi hak-hak mereka namun tidak menuntut mereka terhadap hak-hak dirimu. Kamu mengakui keutamaan mereka namun melupakan keutamaan dirimu atas mereka.
Keempat, mengendalikan diri dengan kerendahan dan rasa takut terhadap kemewahan yang membuatnya selalu pamer. Hendaknya seseorang bersungguh-sunguh untuk menyembunyikan keadaannya dari orang lain seperti kekhusyukannya, kerendahannya, dan rasa takutnya agar tidak dilihat oleh manusia. Sehingga, pengetahuan dan penglihatan mereka membuatnya berbangga diri, lalu merusak waktunya, hatinya, dan keadaannya bersama Allah. Tidak ada sesuatu yang paling bermanfaat bagi orang yang jujur daripada mewujudkan kemiskinan, kebutuhan, dan kehinaan di hadapan Allah Ta’ala, dan agar tidak melihat keutamaan dan kebaikan kecuali dari Allah. Hanya Allah Ta’ala yang memberikannya tanpa suatu sebab apapun darimu.
Sumber: fimadani.com