[:ID]Oleh: Imron Baehaqi
Tak ayal lagi, pemimpin adalah suatu keniscayaan. Apalagi, dalam urusan kebangsaan dan kenegaraan. Kehadiran dan kedudukan pemimpin sangat penting dan strategis. Dalam sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila ada tiga orang pergi safar, hendaklah mereka mengangkat satu di antaranya sebagai pemimpin.”
Dalam memahami hadis tersebut, Syekh Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “Jika Nabi SAW mewajibkan jamaah atau perkumpulan dengan jumlah yang kecil supaya mengangkat seseorang di antara mereka sebagai pemimpin, artinya kewajiban yang sama juga berlaku bagi jamaah atau perkumpulan yang lebih besar.”
Secara bahasa, pemimpin berarti orang yang berada di depan, orang yang dipatuhi dan diikuti. Ada pun secara istilah, di antara definisi pemimpin adalah sebagai berikut, “orang yang menjaga agama dan mengelola dunia dengan agama.” Definisi ini disampaikan oleh para ulama dan pemikir Muslim populer, seperti Imam Mawardi, Ibn Khaldun, dll.
Alquran membagi tipologi pemimpin menjadi dua bagian. Pertama, pemimpin durhaka yang mengajak manusia kepada neraka. (QS al-Qashash [27]:41). Kedua, pemimpin yang memberi pencerahan kepada umat manusia, yaitu pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Allah SWT. (QS al-Anbiya [21]:73).
Pasalnya, kepemimpinan dan kekuasaan dalam perspektif Islam hanya sebatas sarana, bukan tujuan. Sedangkan esensi dari tujuan-tujuan kepemimpinan atau kekuasaan ini ialah menegakkan perintah Allah SWT di muka bumi sesuai dengan ketentuan syariat- Nya, memerintahkan dan menebarkan segala kebajikan sekaligus mencegah dan menghentikan segala bentuk kerusakan. (QS al-Hajj [22]:41).
Dalam konteks Indonesia, pengertian dan prinsip ini tentu sejalan dengan spirit falsafah Pancasila dan UUD 1945. Secara normatif, lima butir Pancasila yang meliputi tauhid, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan, syura, dan keadilan sosial, semuanya senapas denggan norma agama.
sumber: republika.co.id[:]