Oleh: Yudi Juliana
Di hari ketiga, Minggu (2/10) Tim Ekspedisi Siaga Gizi dan Pangan Rumah Zakat bersiap untuk melakukan penerbangan ke kota Waingapu dari Bandara El-tari Kupang. Saat dalam pesawat terlihat pegunungan yang gersang namun sebagian kecil lembah sempit yang dialiri sungai masih ditumbuhi pepohonan.
Waingapu, kota paling besar di pulau Sumba. Penduduknya mayoritas non muslim, untuk muslim ada diurutan ke 3 dari sisi populasi penduduk. Disamping itu penganut Merapu masih banyak diyakini penduduk asli. Merapu juga menjadi agama kerajaan-kerajaan yang ada di Sumba, dengan bahasa daerah Sumba Sedangkan di Timor bahasa daerahnya adalah Tetun.
Tiba di bandara Umbu Mehang Konda, Waingapu tim Rumah Zakat langsung diantar relawan dari Sumba Timur, mereka sudah menyiapkan tempat penyaluran di Kp. Kalu Ds. Prailiu Kec. Kambera Kab. Sumba Timur, lokasinya tidak jauh dari bandara. Disini muslimnya masih minortitas, tidak lebih dari 40 kepala keluarga yang lokasinya berpencar tapi masih dalam satu kampung.
Warga disini kondisinya jauh dari layak, rumah mereka terbuat dari anyaman bambu serta berlantaikan tanah. Dindingnya tidak menapak ke bawah hanya tiang dibagian sudut rumah, sehingga ada lubang yang cukup lebar disepanjang dinding. Jika malam tiba angin bisa dengan leluasa masuk melalui lubang tadi. Apalagi jika musim hujan, bisa dipastikan air masuk hingga kamar mereka, bahkan hewan seperti kodok, kalajengking sering hilir mudik masuk ke rumah.
Kebanyakan penduduk muslim adalah pendatang dari berbagai pulau di Nusa Tenggara Timur yang sudah menetap puluhan tahun lalu. Mereka menikah dengan warga lokal hingga tidak bisa dibedakan antara pendatang dengan warga asli. Rata-rata mata pencaharian mereka adalah petani, pedagang kecil dan menjadi kuli di pelabuhan.
Di kampung ini pemukiman muslim dikelilingi warga non muslim. Terdapat sebuah masjid kecil yang kondisinya kurang terawat, beratapkan seng seperti rumah penduduk lainnya. Menurut pengakuan dari salah seorang warga muslim, Musadiki (43), selama tinggal disini ia tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah.
Penerangan listrik di sini pun masih terbilang minim, dengan mengandalkan genset hasil swadaya masyarakat. Setiap bulannya mereka bergotong royong untuk membeli bahan bakar, tarifnya disesuaikan dengan jumlah lampu yang akan dipasang.
Dimusim paceklik seperti sekarang ini, kondisinya kurang menyenangkan. Halaman rumah yang tidak terlalu luas dan biasa mereka tanami sayuran tanahnya mengeras. Tidak ada warga muslim yang mempunyai ladang di kampung ini. Untuk menghemat kebutuhan pokok, warga di sini tidak selalu makan beras. akan tetapi mereka juga makan jagung dan umbi-umbian dengan lauk pauk ala kadarnya.
Rumah Zakat akan menyalurkan 500 kaleng kornet Superqurban dari 10.000 paket yang akan disebar di Pulau Sumba. “Makan daging menjadi barang langka bagi kami, kalau ingin makan ikan harus mencarinya di bebatuan pinggiran pantai, karena warga di sini tidak ada yang menjadi nelayan,” Musadiki menuturkan.
Foto: Angga Aditya