DUHAI HATI, BISAKAH ENGKAU KUTANYA?

oleh | Sep 4, 2010 | Inspirasi

Oleh Muhammad Haden Aulia Husein
Rumah Zakat-Bandung

Dari Wabishah R.A berkata : “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab :
“Hai Wabishah, minta fatwalah kepada hatimu, dan mintalah fatwa kepada dirimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang terombang-ambing dalam jiwa dan dada meskipun orang orang memberimu fatwa,” diriwayatkan oleh Imam Ahmad IV/227.

Mungkin kita akan di berikan bergumpal pertanyaan berkenaan dengan hadits fatwa hati ini. Salah satunya adalah “Apakah setiap kita mengamalkan suatu perbuatan, kita menanyakan hati untuk pembenaran dari apa yang di perbuat?” Sungguh, Allah menurunkan al-Qur’an dengan sesuatu yang jelas di dalamnya yaitu sebagai petunjuk manusia tentang bagaimana kita seharusnya berkehidupan di dunia-Nya ini. Ini diperjelas dengan sunnah Rasul-Nya, baik melalui lisan maupun prilaku Rasululullah SAW yang menjadi tauladan di pribadinya yang berakhlak seperti Al Qur’an berjalan. Islam adalah agama yang jelas, kebenarannya merupakan hal yang jelas pula dan keburukan adalah sesuatu yang mutlak dijauhkan dari pribadi kita.

Karenanya, dalam penentuan fatwa hati ini kita harus memperhatikan apa yang boleh difatwakan oleh hati itu sendiri. Secara hukum, Islam hanya berujukkan al-Qur’an dan hadits serta sumber yang lainnya yang bersumber dari keduanya seperti ijma’, qiyas atau yang lainnya, tidak boleh memandang kepada tenang atau tidaknya jiwa. Sungguh, kita tidak pernah tahu kapan kah hati kita berpijar dikarenakan ada cahaya Allah di dalamnya atau bisikan syetan yang melengahkan kita dengan kedok kebaikan. Alangkah lebih indah dan sempurnanya jika kita mencari landasan syar’i bahkan menanyakan landasan hukum kepada orang-orang yang Allah berikan kemuliaan yaitu ulama sebagai syarat mutlak dari cara berkehidupan Islam kita di dunia-Nya ini.

Terlebih lagi semua sarana pembelajaran untuk bertanya terbuka lebar, baik melalui jaringan telepon maupun akses internet yang bisa dijumpai hampir di setiap sudut bumi ini. Karenanya, jika kita langsung menanyakan keputusan kepada hati atau meminta fatwa kepadanya bukankah akan terasa rancu bahkan terasa nyeleneh. Salah satu contohnya yaitu jika sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. Misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Hati dan jiwa yang tidak bersih belum tentu mampu menjawab hal seperti ini melainkan bisa menambah kesalahan yang terjadi.

Akhirnya, jika kita meminta fatwa pada hati adalah saat anda menjalani apa yang sudah diketahui dan pahami terlebih dahulu. Pertanyakan kembali di hati kita apakah sudah baik atau tidak berinteraksi dengan Allah. Sejatinya, Fatwa Hati sangatlah diperlukan jika kita sudah mengetahui landasan hukumnya, kemudian kita meminta fatwa pada hati untuk bersungguh-sungguh meyakini dan menjalaninya secara total. Bukankah orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah mendzalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.

“Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar,” QS. Al Hajj 22:46.

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0