DARI BILIK PESANTREN (BAGIAN DUA)

oleh | Mar 11, 2010 | Inspirasi

oleh Rachmatullah Oky Raharjo

Pengamat Sosial

Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor

Pada tulisan saya yang pertama, sedikit penjelasan mengenai asal-usul dan landasan filosofis didirikan pesantren. Lalu bagaimana dengan kurikulum di pesantren? Bagimana mengolah kurikulum untuk sebuah pesantren unggulan?

Sebenarnya, pesantren itu (apapun namanya) mau pesantren moderen, tradisional, unggulan, pesantren juara atau apapun namanya, yang tidak boleh dilupakan adalah : KURIKULUM PESANTREN ITU BERLANGSUNG 24 JAM NON STOP.

Jadi berbicara kurikulum pesantren adalah bicara tentang sebuah sistem pendidkan berasrama dimana segala kehidupan yang meliputinya adalah sebuah materi pendidikan. Jadi tidak cukup sekedar mengatur dari jam 7 sampai jam 2 siang di kelas. Tapi juga pendidikan disiplin berasrama, pendidikan mandi yang baik, makan yang benar, berbicara dan mengobrol yang bijak, berolah raga yang sesuai, belajar seni yang membangun, belajar berpidato yang terarah, belajar memimpin, belajar ikhlas dipimpin, belajar berbahasa asing yang aktif dan berkelanjutan, tahsin qiroaat Al Quran secara fasih dan tartil, berlajar berpakaian yang sederhana dan sopan, belajar mengelola diri sendiri dan lingkungan, belajar tahu tentang orang lain, sampai belajar bagaimana mengolah tidur yang yang benar. Dan semuanya itu terjadi 24 jam sehari penuh.

Pesantren adalah laksana sebuah keluarga, dimana kyai dan guru-guru sebagai figur orang tua dan santri senior sebagai figur kakak yang membantu orang tua untuk mengasuh adik-adiknya. Maka apa yang diajarkan di kelas, dengan mudah bisa langsung dipraktekkan di asrama. Tak perlu ragu, karena ada kakak senior yang ikhlas membimbing. Interaksi antara guru dan murid bisa berlangsung terus menerus, karena mereka tinggal di lingkungan yang sama. Di lingkungan seperti inilah, fungsi TRIBRATA Pendidikan (sekolah, keluarga dan masyarakat) dapat secara optimal dan terpadu dilaksanakan.

Saya ingat, ketika pemerintah kita dapat “pesanan” untuk menghapus kurikulum jihad di mata pelajaran pesantren. Setelah diteliti, ternyata tidak satupun mata pelajaran pesantren yang mengajarkan jihad (baca bom bunuh diri). Tapi kenapa doktrin jihad itu begitu tertanam dibenak para santrinya? Para pengamat pendidikan lupa, bahwa “kurikulum” yang mengajarkan Jihad, diperoleh justru di luar jam sekolah mereka, di lingkungan kamar, interaksi antar santri, dan latihan orasi tiap pekan. Juga ketika ditanya, bagaimana dalam waktu singkat (3 bulan) para santri sudah bisa berbincang-bincang dengan bahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari hari mereka? Sedangkan dengan sistem kurikulum terbaru sekalipun sangat sulit mewujudkannya? Jawabannya juga sama, karena setelah mereka diajar pelajaran bahasa di kelas, mereka langsung menggunakannya dalam bahasa pergaulan mereka sehari-hari yang memang berdisiplin untuk berbahasa asing. Sedangkan di sekolah umum, sepulang sekolah, di keluarganya, siswa akan kembali berbahasa Indonesia atau daerah, sehingga susah untuk membiasakan diri berbahasa asing.

Jadi kurikulumnya adalah total kehidupan itu sendiri. Memang ada yang formal tertulis. Tapi yang paling utama, tentu adalah kurikulum nyata yang mengatur pola kehidupan selama 24 jam penuh. Kehidupan pesantren ini, senantiasa diliputi oleh paling setidaknya lima ruh kehidupan muslim, yang di pesantren kami dikenal dengan panca jiwa.

1.Keikhlasan

“Al-Ikhlasu Ruhul Amal”, keikhlasan adalah ruh dari setiap pekerjaan. Keikhlasanlah yang akan membentuk militansi tak kenal menyerah di setiap pribadi muslim. Keikhlasan juga yang akan membentuk pribadi kreatif nan produktif. Amal dan perbuatan yang dilakukan bukan untuk mengejar target tertentu yang temporal akan tetapi bertujuan melaksanakan apa yang memang Allah sudah perintahkan. Orientasi inilah yang membuat seorang muslim optimal, tak tergoda oleh sesuatu apapun, bahkan godaan setan sekalipun. Sebab dalam Al-Quran, syetan sendiri diceritakan telah menyatakan bahwa satu-satunya golongan yang tidak bisa di goda olehnya adalah “mukhlisun”, orang-orang yang ikhlas.

Nasehat Kyai saya dulu selalu teringat :

“Berbuatlah dengan ikhlas, karena keikhlasan itu akan menghasilkan aktivitas. Dan aktivitas yang baik itu akan menghasilkan mobilitas. Mobilitas yang terarah akan membuat kualitas. Kualitas yang terus-menerus akan menciptakan kuantitas. Setelah kuantitas terbentuk, baru pikirkan fasilitas”. Subhanallah, betapa dahsyatnya the power of Ikhlas.

2. Kesederhanan

Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.

Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental serta karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.

Dalam kesederhanaan itu kita diajarkan bagaimana tidak mudah mengeluh, tidak mudah menyalahkan keadaan, tidak mudah bingung dan gugup menghadapi masyarakat. Dakwah tanpa komputer? Tanpa HP? Tanpa motor? Atau bahkan tanpa tempat tinggal sekalipun, bukan hal sulit bagi para pejuang muslim yang terdidik dengan jiwa kesederhanaan. Fasilitas minim juga bukanlah merupakan hambatan. Karena ketrampilan jauh lebih diperlukan dari sekedar alatnya bukan? Bukan seperti sebagian artis dan masyarakat kita yang begitu “latah” membeli Blackberry, padahal hanya 10% dari pemilik alat komunikasi tersebut yang juga berlangganan paket Email push itu. Kemudian yang 90%? Ah, tentu kita sudah tahu jawabannya.

3. Kemandirian

“I’maluu fauqa maa ‘amiluu”, lakukanlah lebih dari apa yang mereka (musuh-musuh Islam) lakukan. Perintah Allah ini tegas, menyeru kepada kita untuk mandiri. Tidak bergantung kepada jasa orang lain. Tidak tergantung kepada kebaikan orang lain. Tidak menunggu pasif atas inisiatif orang lain. Tapi bergerak dan berbuat atas inisiatif dan perhitungan kita sendiri.

Ini juga tidak berarti kita tidak perlu orang lain, bukan begitu. Tapi jiwa kemandirian adalah jiwa merdeka yang mampu berdiri dengan gagah dan bangga di atas kemampuan kita sendiri.

Kemadirianlah yang menjadikan kita laksana pilot pesawat. Yang dengan bangga menguasai dan mengarahkan pesawat kita sendiri menuju tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan jiwa yang tidak mandiri laksana pemain layang-layang, bangga dan bahagia melihat layang-layangnya terbang dibantu angin, sedangkan dia sendiri masih tertinggal di daratan.

4.Ukhuwah Islamiyah

Ruh keempat adalah ruh persatuan. Persatuan bukanlah berarti segala rupa harus sama, dan tidak boleh berbeda. Tapi bagaimana bisa saling membangun dan membantu dengan segenap perbedaan kemampuan dan pemikiran yang dimiliki. Bukankah kita bisa berjalan dan bahkan berlari cepat bukan karena berjalan bersama-sama? Tapi justru ketika keduanya melangkah seirama, yang satu melangkah maju, yang lain dibelakang dulu, untuk kemudian ganti maju, demikian seterusnya.

Bukankah jelas perintah Allah dalam Surat Ali Imran ayat 103,

“Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali (Agama) Allah, dan jangan berpecah belah”

Seruan Allah diatas adalah supaya kita jangan berpecah belah (walaa tafaraquu) dan bukan karangan berbeda pendapat (walla takhtalifuu). Sebab perbedaan adalah fitrah. Sebab masing-masing kita hidup dengan kebiasaan, budaya, dan kondisi yang berbeda-beda. Maka asalkan perbedaan itu bukanlah mengenai hal-hal prinsip dalam beragama seperti ketuhanan dan kenabiyan, mengapa kita harus memecah diri karenanya?

5. Merdeka

Yang kelima yang semestinya bersemayam di dada setiap muslim adalah jiwa merdeka. Jiwa kebebasan. Bebas merdeka dari kejumudan, bebas merdeka dari fanatisme sempit, bebas merdeka dari penguasaan pemikiran bangsa lain, bebas merdeka dari penjajahan terang-terang ataupun terselubung yang dilakukan atas bumi dimana Umat Islam berdiri.

Bebas Merdeka bukan berarti, bebas tanpa ikatan aturan. Sebab kebebasan seseorang itu terbatasi oleh kebebasan orang lain. Selain tentunya dibatasi juga oleh ketentuan Allah. Kebebasan yang tak terbatas, justru akan membuat kreativitas akan terhenti. Bukankah keindahan sepak bola itu muncul justru ketika ada aturan main yang membatasinya?
Coba jikalau sepak bola itu liar tanpa aturan, bola boleh di sentuh tangan, boleh mengkasari pemain lawan, boleh berbuat curang, bukankah keindahan sepak bola justru akan hilang?

Demikianlah, jikalau lima pirnsip ini saja mampu kita resapi dan laksanakan. Maka tidak perlu rasanya kita merasa minder dan merasa kehilangan jati diri. Kita akan dengan bangga memperkenalkan diri sebagai insiator peradaban yang saleh sekaligus kuat, kreatif, dan mandiri. Sehingga kita tidak lagi menjadi penonton yang bertepuk tangan atas prsetasi orang lain. Di saat umat lain sudah terbang tinggal landas, sementara kita masih tertinggal di landasan.

Tidak akan ada yang peduli dengan nasib kita ini selain diri kita sendiri. Dan tidak akan datang perubahan besar itu, kecuali dimulai dari perubahan diri kita sendiri.

Semoga kemenangan itu semakin dekat. Wallhu a’lam.