[:ID]Karena aku yakin, di setiap tenda-tenda pengungsian itu pasti ada kisah penuh makna. Siang itu, saat matahari menyengat dengan teriknya, setapak demi setapak aku berjalan mengelilingi daerah pengungsian. Mencoba melihat lebih dekat berbagai keadaan yang sebagiannya sedang merenungi nasibnya karena gempa yang menimpa. Tepatnya di Dusun Pemenang Barat, tempat Rumah Zakat membangun shelter untuk pengungsi, Jumat (31/07).
Pandanganku tertuju pada sudut sebuah tenda, mengarah pada sosok gadis yang sedang sibuk melakukan pekerjaannya. Dialah Ida (20), saat aku menghampiri tendanya yang ala kadarnya itu, ia sedang memanggang opak.
Melihat itu aku takjub. Di bawah terik tengah hari, ia tidak berdiam diri di tenda. Ia malah memanggang opak di atas tungku yang membara.Aku mencoba untuk menyapa dan perlahan berjalan hingga berhadapan dengannya. Bertanya kabar, berkenalan hingga kami pun saling bertukar cerita.
Rupanya, gadis penjual opak itu sedang membantu neneknya. Nek Aji ia memanggilnya. Dari ceritanya, sang nenek sudah berusia senja. Matanya pun sudah mulai buram. Tapi Ida sangat sayang dan bangga dengan neneknya. Ia memiliki nenek yang baik, dari hasil menjual opak, Nek Aji mampu membantu menguliahkan dua orang cucunya.
Melihat kesungguhan dan lihainya saat Ida memanggang opak, aku jadi penasaran dan ingin mencoba.
Aku meminta izin padanya untuk membantu. Perlahan opak yang sudah dijemur itu, aku taruh di atas bara. Ah, ternyata tidak semudah saat aku melihatnya. Tangan terasa kaku, panas menyengat jari, hasilnya sudah jelas, banyak yang hangus.
Itulah Ida, sosok yang tak sengaja kutemui diantara ribuan orang yang mengungsi di Lombok ini. Nyatanya, ia tidak berkeluh pada nasib. Dalam kondisi sangat memprihatinkan, ia tetap menjalani hari harinya, ia masih miliki semangat dalam jiwanya.
Oleh Akrima Sabila, Relawan Rumah Zakat[:en]Because I’m sure, in every refugee camp there must be a meaningful story. That afternoon, when the sun was stinging hotly, I walked around step by step around the refuge area, trying to take a closer look at a variety of circumstances, some of which are contemplating his fate because of the earthquake that hit Lombok, precisely at Pemenang Barat Hamlet where Rumah Zakat built shelter for refugees, Friday (07/31).
My gaze was fixed on the corner of a tent, pointing at the figure of a girl who was busy doing her work. She is Ida (20), when I approached her perfunctory tent, she was baking opak.
Seeing that I’m amazed, in the heat of the middle of the day, she did not remain silent in the tent. Instead, she baked opak over a burning stove. I tried to say hello and slowly walked to face her, asking news, getting acquainted until we exchanged stories.
Apparently, the opak girl was helping her grandmother. Nek Aji she called her. From the story, the grandmother is very old, her eyes also began to blur. But Ida is very dear and proud of her grandmother. She has a good grandmother, from the results of selling opak, Nek Aji is able to help her two grandchildren.
Seeing the sincerity and mercy when Ida baked opak, I became curious and wanted to try. I asked her permission to help. Slowly the dried opak, I put it on coals. Ah, it wasn’t as easy as when I saw it. The hands feel stiff, the heat is stinging the fingers, the results are clear, many are charred.
That is Ida, a figure I accidentally met among thousands of people who fled in Lombok. In fact, she did not complain about fate. In very apprehensive conditions, she continued to live her day, she still had enthusiasm in his soul.
By Akrima Sabila, Volunteer of Rumah Zakat[:]