AM Adhy Trisnanto
Saya suka bundar, dari bedug sampai gong, dari onde-onde sampai bola. Termasuk bola mata, apalagi bola mata seorang bocah, bening, sebening tirta amerta, saya suka. Pernahkah Anda iseng berpikir mengamati sebuah bundaran: dari mana mulai dan di mana berakhir? Bundar yang sempurna tidak ketahuan mana awal mana akhir. Kita bisa katakan, bundar sempurna tidak berawal dan tidak berakhir. Lain lagi titik. Setiap membuat gambar, huruf, dan angka, senantiasa kita mulai dengan titik, dan kita akhiri juga dengan titik. Boleh dikatakan, titik itu awal, dan akhir.
Bulan lalu saya bersilaturahmi ke kantor Rumah Zakat di Banda Aceh. Sederhana dan kecil, bersebelahan dengan warung makan bebek goreng. Bukan di jalan raya, tempat angkot dan becak-motor hilir mudik. Jalan di depan kantor terbilang sepi, meskipun bukan senyap. Timnya juga cuma belasan, belum puluhan. Semuanya masih muda, sebagian besar masih belum menikah. Sama seperti orang-orang yang berkarya di dalamnya, kantor ini memang belum berumur panjang. Ibaratnya, kantor Aceh adalah sebuah titik awal perjalanan panjangnya.
Jamaknya orang muda didatangi orang berumur, apalagi dari jauh, awal perjumpaan terasa kaku. Ada nuansa segan, mungkin malah sedikit takut-takut. Baru setelah saya mengikhtiarkan ice breaking suasana jadi lebih cair. Yang tegang jadi lebih kendur, yang menunduk berani menatap, yang diam tiba-tiba ceriwis. Tidak hanya senyum yang merekah, tapi ada letupan tawa di sana-sini. Tim ini tahu benar, mereka masih dalam status merah. Tapi mereka juga menyimpan harapan yang merah akan jadi hijau. Bara api diharapkan akan bermetamorfosa jadi hamparan sawah siap panen.
Bagaimana caranya? Nah, proses menggelinding jadi analisis situasi. Apa yang jadi kendala? Dikisahkanlah qanun (baca: peraturan daerah) yang sudah diundangkan. Pegawai Negeri Sipil harus menyalurkan zakatnya ke sebuah badan yang sudah ditentukan. Sekarang masih masa transisi, tapi dua tahun lagi akan diberlakukan penuh. Wah, masa depan suram dong? Tapi apa benar aturan itu menutup segala kemungkinan? Berapa persen PNS di Aceh? Apa mungkin jumlah PNS lebih dominan dari yang non PNS? Nampaknya tidak. Kalau begitu, untuk apa meratapi aturan itu? Masih ada lahan yang menanti digarap. Kenapa harus bermain di ladang yang sudah akan tergarap (dan mudah-mudahan akan tergarap baik).
Tak bosan saya berseru, para sobat zakat bekerja di wilayah yang tidak semata-mata duniawi. Mereka bekerja dalam karya keselamatan dunia dan akhirat. Harus ada spiritualitas di sana. Kalau toh mereka bersaing, maka mereka bersaing dalam berbuat kebaikan. Sobat Zakat tidak boleh meratap ketika pesaing memenangkan persaingan. Mereka hanya boleh meratap ketika kita gagal berbuat baik.
Dalam konteks ini, output bukan satu-satunya ukuran. Dalam wilayah dunia-akhirat, proses tak kalah penting ketimbang output. Maka, seperti ilmu padi: menanam harus mundur. Setelah ditanam, untuk bertunas butuh waktu. Tapi ketika bulir-bulir padi dituai dan dibuang kulitnya menjadi beras, dan ketika beras ditanak menjadi nasi, mekarlah dia. Segenggam beras menjadi sepiring nasi yang mengenyangkan dan menghasilkan tenaga.
Proses yang baik, walaupun hasilnya belum tampak, perlu disikapi dengan rendah hati: semua ada waktunya. Ini bukan kegagalan, tapi penundaan hasil. Ini latihan kesabaran dan kerendahhatian bagi kita. Ini adalah titik awal, yang kemudian akan membentuk garis panjang. Mudah-mudahan garis panjang itu melengkung sempurna, akhirnya membentuk lingkaran yang tidak lagi ketahuan mana awal mana akhir. Bukan soal seandainya garis awal yang terbentuk rada menceng.
Selamat menggarap lahan, wahai para pejuang di Aceh. Lahanmu tidak harus ada di kantor-kantor pemerintah. Siapa tahu lahan suburmu ada di warung-warung kupi, yang bertebaran di segala penjuru Banda Aceh.