Rikza
Maulan, Lc., M.Ag
Dewan
Pengawas Syariah Rumah Zakat
Dalam haji
dan umrah, dikenal adanya istilah miqat, yang secara umum berarti batasan; yang
seorang jamaah haji atau umrah sudah harus berihram ketika memasuki atau
melewati batas tersebut. Dan karena miqat dikaitkan dengan ihram, maka istilah
yang sering digunakan dalam pelaksanaan haji dan atau umrah adalah ihram dari
miqat.
Ihram dari
miqat merupakan salah satu wajib haji atau umrah yang harus dilaksanakan oleh
setiap jamaah. Apabila jamaah telah melawatinya dan ia belum berihram, maka jamaah
tersebut wajib untuk keluar kembali ke daerah miqat, lalu mengambil miqat kembali
dan berihram dari tempat tersebut. Atau jika tidak memungkinkan untuk keluar
kembali ke miqat, maka jamaah tersebut harus membayar dam (sanksi) berupa menyembelih
seekor kambing.
Dari segi
bahasa, miqat berasal dari kata waqt (تقو
(yang berarti waktu. Bentuk jama’ dari miqat adalah mawaqit. Adapun dari segi
istilah, miqat adalah batas waktu dan tempat untuk melaksanakan ibadah haji dan
atau ibarah umrah. Miqat terbagi menjadi dua, yaitu Miqat Zamani dan Miqat
Makani:
1. Miqat
Zamani adalah batas waktu untuk berihram melaksanakan ibadah haji dan atau
ibadah umrah. Atau dengan kata lain, Miqat Zamani adalah waktu sahnya
dilaksanakannya amalan-amalan haji dan umrah.
2. Miqat
Makani adalah batasan tempat untuk memulai ihram haji atau umrah. Atau dengan
kata lain, Miqat Makani adalah tempat memulai ihram bagi orang yang hendak mengerjakan
haji atau umrah. Seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji tidak boleh melewati
tempat tersebut, tanpa ihram terlebih dahulu. Apabila melewatinya dan belum
berihram, maka wajib baginya untuk membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor
kambing. Adapun tempat-tempat miqat tersebut, secara keseluruhan telah ditentukan
oleh Rasulullah SAW.
3. Ulama
sepakat akan wajibnya berihram di tempat-tempat (miqat) yang telah di tetapkan oleh
Rasulullah SAW. Hanya saja Sebagian ulama berbeda pendapat berkenaan dengan hukum
mengambil miqat ihram dari Jeddah. Hal ini karena Jeddah merupakan pintu masuk
utama bagi setiap jamaah yang akan menuju ke Mekah, baik yang menggunakan pesawat,
maupun menggunakan jalur kapal laut. Sementara posisi Jeddah secara geografis
sudah memasuki dan melawati batas miqat untuk ihram. Berikut ini adalah gambaran
umum perbedaan pendapat terkait dengan hukum ihram dan mengambil miqat dari
Jeddah:
Baca juga: Hukum Investasi dalam Islam
Pertama :
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dalam sidangnya di Ciawi pada tanggal 12
Jumadil Awal 1400 H/ 29 Maret 1980 H memutuskan sebagai berikut:
1. Jamaah
haji atau umrah Indonesia baik melalui laut atau udara boleh memulai ihramnya
dari Jeddah, tanpa wajib membayar dam.
2. Jamaah
haji atau umrah Indonesia yang akan meneruskan perjalanan lebih dahulu ke
Madinah akan memulai ihramnya dari Zulhualifah (Bir Ali) Dan kemudian fatwa ini
dikuatkan kembali oleh fatwa Komisi Fatwa MUI dalam sidangnya di Jakarta
tanggal 17 dan 19 Dzulqa’dah 1401 H/ 16 September 1981, yang substansinya sama,
memperbolehkan jamaah haji untuk mengambil miqat dari Jeddah (Bandara King
Abdul Aziz) dan juga memperbolehkan untuk ihram dari tanah air.
Kedua :
Sementara itu, lembaga-lembaga fatwa di Timur Tengah, maupun juga para ulama-ulama
Timur Tengah lainnya, umumnya memiliki pendapat yang berbeda, diantaranya Al-Majma’
Al-Fiqh Al-Islami, Syekh bin Baz, Lajnah Da’imah, dan beberapa Lembaga Fatwa lainnya,
berpendapat tidak bolehnya menjadikan Jeddah sebagai tempat miqat untuk ihram.
Bagi jamaah yang sudah terlanjur menjadikan Jeddah sebagai miqat tempat
ihramnya, maka wajib baginya keluar kembali ke daerah miqat untuk melaksanakan
ihram, atau jika tidak maka wajib baginya untuk membayar dam. Hal tersebut karena
posisi Jeddah secara geografis telah melampaui batasan miqat, padahal
seharusnya jamaah sudah harus dalam kondisi berihram ketika sampai di Jeddah.
Nah, dari
kedua pendapat di atas, manakah yang harus dipilih? Saya pribadi lebih
cenderung untuk mengambil pendapat kedua, yaitu keharusan berihram di
tempat-tempat miqat yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW.
Oleh
karenanya, jamaah sudah harus berihram (saat di pesawat) ketika akan memasuki Batasan
dan garis miqat. Dan dengan teknologi yang ada, biasanya akan diumumkan oleh
petugas pesawat ketika akan memasuki miqat tersebut, dan bahkan dilengkapi
dengan visual video live yang menggambarkan posisi pesawat. Dengan demikian,
insya Allah pelaksanaan ibadah haji dan atau ibadah umrahnya lebih terjamin keabsahannya,
meskipun tetap menghargai pendapat yang menyatakan sah berihram di Jeddah.
Wallahu
a’lam