[:ID]
Oleh: Imam Nawawi
Tujuan penciptaan manusia adalah beribadah. Namun, satu bagian dari tabiat hidup manusia juga bercanda atau tertawa. Dan, bukti Islam ajaran yang sempurna, tertawa alias bercanda pun dibolehkan, bahkan ada adab-adabnya.
Dalam buku Pemuda dan Canda karya ‘Aadil Bin Muhammad Al’Abdul ‘Aali disebutkan bahwa Ibn Abbas mengatakan, “Tertawa merupakan suatu tabiat atau perangai manusia.” Artinya, tertawa itu bagian dari fitrah manusia (QS an-Najm [53]: 43).
Suatu saat Aisyah RA berkata, “Suatu hari Saudah mengunjungi kami, dan Rasulullah duduk di antara diriku dan Saudah. Sedangkan, satu kaki beliau berada di pangkuanku dan satunya berada di pangkuan Saudah.
Maka, kubawakan untuknya makanan (yang terbuat dari bahan tepung dan air susu) lalu kukatakan, “(Demi Allah), makanlah atau aku akan megotori wajahmu.” Dia lalu menolak dengan berkata, “Aku tak akan mencicipinya.”
Lalu, kuambil makanan dari mangkuk yang besar dan kulumurkan ke wajahnya. Nabi Shallallahu alayhi Wasallam tertawa. Lalu, beliau mengangkat kaki beliau dari pangkuan Saudah agar ia bisa membalasku. Beliau berkata kepada Saudah, “Kotorilah mukanya!” Lalu dia mengambil makanan dari mangkuk besar dan melumurkannya ke mukaku, dan Rasulullah tertawa.” (HR an-Nasa’i).
Hadis tersebut menunjukkan, Rasulullah tetap meluangkan waktu untuk bercanda atau bersenda gurau dengan istri-istrinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah memang tidak pernah menomorduakan istrinya kala di rumah.
Di dalam pergaulan pun, Rasulullah juga bercanda. Diriwayatkan dari al-Hasan, dia berkata, seorang nenek tua mendatangi Nabi. Nenek itu berkata, wahai Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ Nabi menjawab, “Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.” Nenek tua itu pun pergi sambil menangis.
Nabi berkata, “Kabarkanlah kepadanya bahwa wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Rasulullah lalu membaca ayat, “Sesungguhnya kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung. Lalu, Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Yang penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS al-Waqi’ah [56]: 35- 37).
Namun demikian, tidak berarti canda boleh terusterusan. Rasulullah mengingatkan juga, “Janganlah engkau banyak tertawa karena sesungguhnya banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR Tirmidzi). Jadi, mari bercanda untuk menghibur diri dan sesama setelah serius berpikir atau penat bekerja agar hubungan keluarga, persahabatan, dan pergaulan semakin berwarna dan kian mempererat keakraban.
Asalkan, dalam bercanda tetap memperhatikan adab, yakni dengan menjalankan prinsip menjauhi dusta, menghindari kata-kata bathil, tidak menghina orang lain dan mempermainkan agama, serta dilakukan secara tidak berlebihan.
Sebagaimana arahan Rasulullah, “Sesungguhnya aku benar-benar bercanda dan aku tidak mengatakan kecuali dengan perkataan yang haq (benar).” (HR. Thabarani).
Dengan demikian, bercanda itu boleh, bahkan dicontohkan oleh Nabi. Namun, sebagai Muslim, bercandalah dengan penuh adab dan kecerdasan.
sumber: republika.co.id[:en]The purpose of human creation is worship. However, one part of human nature also jokes or laughs. And, proof of Islamic teachings that are perfect, laughing aka joking is also permissible, there are even ethic regarding this.
In the book ‘Pemuda dan Canda’ the work of ‘Aadil Bin Muhammad Al’Abdul’ Aali stated that Ibn Abbas said, “Laughter is a human nature or temperament.” That is, laughter is part of human nature (QS an-Najm [53]: 43) .
One time Aisyah RA said, “One day Saudah visited us, and the Messenger of Allah sat between me and Saudah. Whereas, one of his legs is in my lap and the other is in Saudah’s lap.
So, I brought him food (made from flour and milk) and then I said, “(By Allah), eat or I will dirty your face.” He then refused by saying, “I won’t taste it.”
Then, I took the food from a large bowl and spread it to his face. The Prophet sallallaahu alayhi Wasallam laughed. Then, he raised his leg from Saudah’s lap so he could repay me. He said to Saudah, “Make her face dirty!” Then he took food from a large bowl and smeared it on my face, and the Messenger laughed. “(An-Nasa’i).
The hadith shows, the Prophet continued to take time to joke or joke with his wives. This also shows that the Messenger of Allah had never ignoring his wife at home.
In any association, the Prophet also joked. Narrated from al-Hasan, he said, an old grandmother came to the Prophet. The grandmother said, O Messenger of Allah! Pray to God that He will put me in heaven! ‘The Prophet answered, “Heaven is not entered by old grandmother.” The old grandmother went away crying.
The Prophet said, “Tell him that this woman will not go to heaven in a state like old grandmother. The Messenger of Allah then read the verse, “Indeed we created them (angels) directly. Then, We made them virgins. The one full of love is the same age. “(Surat al-Waqi’ah [56]: 35-37).
However, it does not mean jokes may continue. The Prophet also reminded, “Do not laugh a lot because in fact a lot of laughter is deadly.” (Tirmidhi). So, let’s joke to entertain ourselves and others after seriously thinking or working late so that family relationships, friendships, and relationships are increasingly colored and increasingly strengthen intimacy.
As long as, in joking, they still pay attention to adab, namely by carrying out the principle of avoiding lies, avoiding evil words, not insulting others and playing with religion, and being done in moderation.
As directed by the Messenger of Allah, “Verily I am truly joking and I do not say except with the words that are haq (right).” (HR. Thabarani).
Thus, joking is permissible, even exemplified by the Prophet. However, as Muslims, joke with ethic and intelligence.
source: republika.co.id[:]