Utang bisa juga disebut sebagai pinjaman dana. Utang ini
bisa dalam bentuk uang atau surat berharga yang digunakan untuk membeli barang
atau jasa sebagai pemenuhan kebutuhan. Karena sifatnya pinjaman, maka utang ini
harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.
Dalam Islam, berutang itu diperbolehkan. Namun, memang sebisa
mungkin harus dihindari. Mengingat efek dari utang yang bisa berakibat buruk. Bahkan,
Rasulullah Saw. senantiasa berdoa agar terhindar dari lilitan utang.
Hadits perihal utang ini datang dari Aisyah ra, ia
menjelaskan bahwa Rasulullah berdoa dalam salat, “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit utang.
Lalu ada seseorang yang bertanya, “Mengapa Anda banyak meminta
perlindungan dari hutang wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya
seseorang apabila sedang berutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan
bisa berjanji sering menyelisihinya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Harta Sudah Mencapai Nisab Tapi Memiliki Utang, Apa Tetap Harus Berzakat?
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa sebisa mungkin
jauhi berutang. Jika sanggup untuk tidak berutang, maka hindarilah utang. Kecuali
memang apabila kondisinya serba sulit dan terdesak. Maka diperbolehkan berutang
asal yakin mampu melunasi utang tersebut. Selain itu, ia pun harus memiliki
itikad dan ikhtiar yang baik untuk melunasinya dan tidak menunda-nunda.
Dari Abu Hurairah ra
bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Mengulur-ngulur waktu pembayaran utang
oleh orang yang mampu merupakan perbuatan zalim. Dan jika salah seorang di antara
kalian diikutkan (dialihkan utangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah
dia mengikutinya.”
Nasib Orang yang
Meninggal Tapi Utangnya Belum Lunas
Hadirnya ajal tidak ada yang tahu. Hal itu adalah rahasia
dari Allah Swt. ajal tak memandang usia, bahkan yang masih di dalam kandungan
pun bisa wafat. Termasuk orang yang sedang memiliki utang. Tidak ada alasan
bagi Allah Swt untuk menahan mencabut nyawa orang yang masih berutang. Mereka yang
masih memiliki utang bisa meninggal kapan saja.
Lalu, bagaimanakah dengan nasib orang yang meninggal masih
memiliki utang? Apakah utangnya itu terbawa mati?
Dulu, Rasulullah Saw. pernah menolak mensalatkan jenazah
sahabat yang meninggal dalam kondisi masih berutang.
“Dari Jabir Ra.
ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan
jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami
datang membawa mayit itu kepada Rasulullah Saw. Kami berkata, ‘Salatkanlah
jenazah ini’. Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, ‘Apakah dia mempunyai
utang?’ Kami menjawab, ‘Dua dinar.’
Lalu beliau pergi. Abu
Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi,
kemudian Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinarnya saya tanggung.” Maka
Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kamu betul akan menanggungnya sehingga mayit itu
terlepas darinya? Ia menjawab, ‘Ya.’
Maka Rasulullah pun mensalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasulullah Saw.
bersabda, ‘Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?’ Maka Abu
Qatadah berkata, “Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin’. Jabir berkata,
‘Maka Rasulullah mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah
berkata, ‘Aku telah melunasinya wahai Rasulullah!’ Maka Rasulullah bersabda,
‘Sekarang barulah dingin kulitnya!’”
Baca Juga: Bolehkah Kurban dengan Cara Berutang?
Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa memang
perihal utang ini bukan hal yang main-main. Seorang muslim meskipun sudah
meninggal tetap akan membawa utangnya ke akhirat sebelum utang itu lunas. Bahkan,
adanya utang akan menghalanginya dari surga.
“Dari Tsauban ra., Rasulullah Saw. bersabda,
“Barang siapa yang meninggal dalam keadaan terbebas dari tiga hal: sombong,
ghulul (khianat) dan utang, maka dia akan masuk surga.”
Di hadits yang lain pun dikatakan bahwa mereka yang
meninggal dalam kondisi masih berutang maka jiwanya akan tertahan.
“Jiwa seorang mukmin
masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (H.R. Tirmidzi).
Apabila misalnya utang itu tidak ada yang melunasi oleh
kerabat atau keluarga di dunia, maka utang itu akan dibayar oleh kebaikannya
(pahalanya).
“Barang siapa yang mati
dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang
tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana
(di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (H.R. Ibnu Majah)
Sehingga memang betul, utang itu perkara yang dibawa hingga
mati. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan utang. Jangan mudah berutang dan
apabila terpaksa harus berutang maka bersegeralah melunasinya karena hadirnya
ajal tidak ada yang tahu kapan datangnya. Wallohu’alam
bishawab.