oleh Rachmatullah Oky Raharjo
Pengamat Sosial
Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Coba nyalakan televisi Anda di chanel manapun. Lalu cobalah mengitung, berapa kali Anda menemukan kalimat yang bernada mengumpat dari sekian acaranya? Yah, akhir-akhir ini kita memang dijejali oleh pemberitaan tentang cacian artis kepada infotainment, ataupun artis kepada artis lainnya, artis kepada ibunya, astagfirullah.
Saya tak hendak mengurai siapa yang benar dan yang salah dalam masalah ini. Sebab kebenaran di negeri ini sudah amat sumir untuk dibahas. Yang ingin coba saya tuliskan adalah betapa besarnya pengaruh televisi terhadap kebiasaan mengumpat di negeri ini. Betapa banyaknya ungkapan kasar secara verbal dengan lancar mengalir menembus dinding pikiran kita dengan cepat setiap hari berkali-kali. Dan tanpa disadari, hal yang seharusnya menjadi aib itu akhirnya menjadi kebiasaan yang kita toleransi sendiri. Pelan tapi pasti, kita telah menjadikannya sebagai “kejahatan” yang bisa dimaklumi, bahkan terkadang malah kita tertawakan.
Infotainment? Jelas itu biangnya. Coba lihat bagaimana mantan suami seorang artis mencela mantan istrinya dan atau sebaliknya. Lalu dibumbui oleh komentar presenternya yang bernada “provokatif” dan membakar. Tidak perlu banyak alasan untuk menyebut program satu ini sebagai biang bagi penonton untuk belajar celaan dan umpatan.
Coba geser chanel Anda ke siaran berita. Dan simaklah, bagaimana berita demonstrasi, penolakan penggusuran, perkelahian antar kampung dan bahkan tentang debat politikus, secara amat sangat fasih mengajari kita bagaimana mencela dan menghujat orang lain secara “baik dan benar”. Seakan-akan menyebut lawan pilitik sebagai antek setan adalah sah. Menyebut musuh di seberang kampung sebagai binatang adalah wajar. Dan sebagai bentuk ungkapan kekesalan, menyebut orang lain sebagai keuturunan iblis adalah hal yang mafhum. Ironi bukan? Jadi bukan cuma infotainment saja yang mengajarkan ungkapan mengumpat seperti itu.
Bosan dengan kekesalan di stasiun berita kita? Coba cek chanel olah raga dan kembali simak perhelatan siaran langusung sepak bola di televisi. Di antara suara heroik sang komentator, pernah kah Antum coba mendengar teriakan penonton yang memenuhi stadion? Kalau telinga Anda jeli, maka akan terdengar alunan lagu pendukung semanagat tim kesayangan yang kembali diselingi umpatan kepada tim lawan atau wasit.
Tak sepadan memang jika membadingkan supporter kita dengan tifosi di liga Itali. Para supporter di Primier League yang menyaksikan sepak bola laksana melihat konser musik klasik, tenang, responsif, bertepuk tangan bila ada peluang, dan sesekali berteriak emosional sesaat bila pemain timnya dikasari lawan. Tapi paling tidak, bisakah supporter kita paling tidak mengurangi sedikit saja untuk tak menghina atau melecehkan tim lain. Karena sesungguhnya, Musuh Yang Pandai Itu Lebih baik daripada Kawan Yang Bodoh.
Mau coba lihat film kartun? Pernah menyimak Sinchan yang dengan lancar menyebut kalimat “bodoh”, “kurang ajar”, “banci” dan umpatan lain? Atau Spongebob yang juga sangat biasa mengucap “tolol”, “dasar makhluk berlendir yang kotor”, “aku membencimu”, dan masih banyak lagi? Sangat tidak aman bagi super memory anak-anak kita. Dan coba perhatikanlah perubahan perilaku anak-anak sesaat setelah menyaksikan film tersebut. Nampak jadi lebih agresif bukan? Baik kata-katanya maupun tindakannya?
Lalu hiburan apa yang bisa kita nikmati tanpa kalimat celaan dan hinaan kepada orang lain? Acara komedi? Wah apalagi ini, kalau mau jujur sih, terkadang celaan dan hinaan itu malah membuat kita terkekeh-kekeh. Anda semua tentu pernah tersenyum terbahak-bahak ketika mendengar si Sule memanggil Aziz Gagap dengan ”eh Jamblang” Atau “eh taplak meja” dan kata-kata “lucu” lainnya. Komedi satir yang seharusnya mempertontonkan komedi cerdas malah sekarang justru kembali ke jalur komedi lama yang mengumbar celaan fisik kepada lawan mainnya.
Atau mau lihat sinetron? Drama kehidupan yang menceriterakan kisah cinta negeri antah berantah itu kaya adegan saling cela dan hina dengan bahasa yang benar-benar vulgar. Jadi hiburan apa yang kita dapatkan dari semua cerita sumir itu?
Para khalayak pekerja seni dan wartawan infotainment mengatakan bahwa tujuan orang menonton televisi adalah mencari hiburan dan bukan pendidikan. Jadi kalau mau cari acara yang mendidik, ya di sekolahan dong, bukan di televisi. Demikian senantiasa alasan yang dikemukakan oleh para pelaku seni dan komunitas kaum “seniman” kapitalis yang terlibat di dalamnya.
Mereka mungkin lupa, bahwa sehebat apapun teori di sekolah mengajarkan budi pekerti dan ilmu pengetahuan selama 8 jam, tapi dalam hitungan menit semua itu akan hancur diterjang tsunami siaran kotak segi emapat bernama televisi.
Alasan kedua yang sering diapakai oleh mereka adalah, “masyarakat banyak yang mau, secara hukum ekonomi, ya sah-sah saja kalau acara-acara it uterus ada”. Walah, ini malah alasan yang benar-benar diada-adakan. Masyarakat itu kalau boleh jujur, bukan karena suka melihat acara-acara ghibah dan maksiat seperti itu, tapi karena tidak ada pilihan. Semua televisi seakan sepakat untuk memutar hal yang sama meskipun dengan “baju” yang berbeda-beda. Masyarakat sebenarnya sudah betul-betul muak dengan segala acara samapah yang hadir di televisi. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan acara lain yang menarik di antara semua statsiun TV yang ada. Jadi mau tidak mau ya mereka menonton semua acara sampah itu.
Buktinya, sinetron “Para pencari Tuhan” dan “Kiamat Sudah Dekat” mencapai Top Rank, meskipun diputar di waktu yang sangat-sangat “Abnormal”, yaitu ketika sahur. Sangat melawan arus, karena hampir semua stasiun TV menayangkan acara komedi konyol dan kuis tak bermutu.
Sintron besutan Deddy Mizwar itu mengobati kerinduan masyarakat terhadap tontonan yang sekaligus tuntunan. Tontonan yang bermutu. Jalan ceritanya sederhana, pemainnya alami tidak dibuat-buat. Jika memang akting wajah jelek, ya jelek. Dialognya sangat urban.
Masyarakat bisa mencontoh, kalau mau kaya, kyai sekalipun musti kerja.Bahwa orang bisa bahagia meskipun tanpa mobil, blackberry, atau rumah mewah. Bahwa orang bisa mengungkapkan kebenciannya tanpa perlu mengumpat, menghujat, melafalkan penghuni Ragunan, bahwa cinta kepada lawan jenis bisa divisualkan tanpa harus memperlihatakan adegan berpelukan, bermesraan atau bergandengan tangan, dan bahwa dakwah agama itu tidak perlu kaku dengan kekerasan dan atau seribu jam pidato pengajian. Cukup visualkan saja, bahwa hidup bisa sangat indah dan bermakna dengan kepatuhan total kepada Allah dan ketulusan menunut ilmu tanpa henti, kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun.
Wallahu a’lam