oleh: Wahyu Sulistianto Putro
Naluri keibuan adalah fitrah, bahkan hewan buas pun memilikinya. Ada pemandangan yang menarik perhatian saya untuk kemudian menorehkan rasa dalam kata. Suatu malam yang dingin dengan hujan yang lumayan deras, saya melaksanakan rapat bersama rekan kerja untuk sebuah kegiatan. Tiba-tiba terlihat seekor kucing di bawah meja tidak jauh dari tempat duduk saya. Dua ekor kucing, seekor besar dan yang lainnya kecil. Kucing yang kecil menyusup ke dalam perut kucing yang besar. nampaknya ia sedang menyusu. Subhanallah, bagi saya itu adalah pemandangan yang indah. Sang induk merebahkan diri dan membiarkan anaknya menyusu. Terlihat sekali kehangatan ibu dan anak itu, kucing kecil itu menyusu hingga tertidur dengan kepala bersandar pada perut ibunya. Ibunya diam saja, seolah tidak ingin sedikitpun mengusik tidur anaknya. Induk kucing itu merebahkan kepalanya di atas lantai tanpa sedikitpun menggerakkan badannya karena takut mengganggu tidur anaknya, padahal posisi induknya terlihat kurang nyaman. Saya terus memandangi ibu dan anak kucing itu. Mereka sangat menikmati tidur mereka, induk kucing tidur melingkari anaknya. Tidak lama kemudian anak kucing itu terbangun, ibunya pun terbangun lalu meregangkan badannya lebar sekali.
Saya mengambil banyak hikmah dari pemandangan indah yang saya lihat itu. Bahwa naluri keibuan itu sudah fitrah makhluk hidup, bahkan binatang buaspun memilikinya. Namun entah mengapa manusia di zaman ini seolah tidak lagi memiliki fitrah itu, bahkan lebih buas dari binatang buas sekalipun. Fenomena aborsi, penjualan anak, pemerkosaan anak, penyiksaan anak seolah menjadi makanan ringan di berita-berita televisi. Entah setan mana yang meracuni pikiran manusia, hingga semua hal keji tersebut terjadi. Kucing saja, bertanggung jawab memelihara anaknya, tidak pernah menggugurkannya, menyusui, bahkan ketika ada manusia dianggap akan mengganggu atau mengambil anaknya maka mereka akan mengeluarkan suara geram dan akan mencakar tangan-tangan manusia yang berusaha menyentuh anaknya. Induk kucing setelah melahirkan anaknya, menjilati anaknya, membawanya dalam gendongan hangat berupa gigitan sayang dibagian tengkuk anaknya. Dibawanya dan disembunyikannya ke tempat yang aman, tempat yang tidak akan terjamah oleh tangan-tangan jahil manusia. Jika kucing saja yang tidak memiliki akal masih bisa melakukan hal-hal fitrah seperti itu dengan naluri keibuannya, bagaimana bisa manusia yang jelas-jelas dikaruniai akal malah lebih kejam dari hewan. Seharusnya manusia yang berakal lebih bisa berpikir dan berperasaan.
Manusia sekarang tega melakukan aborsi, menjual anak sendiri, memaksa anak-anak untuk mengamen dijalanan hingga tengah malam. Cobalah kita sempatkan untuk melihat sejenak di perempatan-perempatan jalan, di alun-alun, dari pagi hingga tengah malam, banyak anak-anak kecil tanpa alas kaki dan tanpa baju yang layak menyusuri tempat-tempat itu untuk mencari uang. Saya yakin itu semua bukan keinginan mereka, selalu saja ada orang dibalik semua itu. Jika bukan orang tuanya maka orang-orang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan tenaga mereka untuk mendapatkan uang. Jika orang dibalik itu adalah orang tua mereka sendiri, mereka mereka tidak berpikir, anak-anak itu adalah anak kandung mereka.
Kita sebagai orang yang mengerti dan diberi kelebihan harta oleh Allah SWT selayaknya kita sejenak memperhatikan mereka, meluangkan sedikit waktu saja untuk mengunjungi, menyapa hangat, dan berbagi sedikit makanan dengan mereka. Sungguh, kita sangat jauh lebih beruntung dari mereka. Keluarga yang hangat, rumah yang nyaman, pendidikan memadai, makanan yang enak, teman-teman yang baik, kendaraan yang memadai adalah karunia Allah SWT yang harus kita syukuri. Berbagilah dengan mereka, setidaknya dengan ilmu yang kita miliki. Berbagi ilmu kepada anak-anak jalanan tentang membaca dan berhitung sehingga mereka tidak mudah ditipu oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Mari belajar berperasaan dari induk kucing yang menyusui anaknya.