BELAJAR BERSYUKUR DARI DE ORANGE

oleh | Jul 20, 2010 | Inspirasi

oleh Rachmatullah Oky Raharjo
Pengamat Sosial
Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor

Anda jangan pernah mengaku penggila bola kalau belum mendengar istilah ”Total Football”. Ini adalah istilah dari sebuah karakteristik permainan sepak bola yang begitu rancak dimainkan oleh ”De Orange” alias tim nasional Belanda. Tak tik permainan yang pertama kali diperkenalkan oleh Rinus Mitchel ketika Ajax menjuarai piala Champion pada tahun 1971, lalu dilanjutkan oleh Johan Cyruf pada piala dunia tahun 1978 sebelum dijungkalkan tim Tango Argentina. Dan puncak keindahan itu membuncah di tahun 1988, dikawal trio mereka Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijcard, Belanda kembali menjadi ”penguasa eropa”.

Total Football bagi Saya adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa menemukan esensi sesuatu. Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.

Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepak bola Belanda, David Winner. Dia menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, Orange Brilian – Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda. Winner tidak membahas sepak bola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan psyche paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.

Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.

Kita semua tahu ukuran lapangan sepak bola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan sebenarnya selalu sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.

Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya. Bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin. Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.

Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.

Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.

Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dan lainnya. Pendeknya, dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.

Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda. Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel. Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya.

Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapih membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya. Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi. Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.

Lalu apa yang dilakukan? Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas di alam khayal mereka. Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar.

Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia. Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi.

Tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya. Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football.

Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu. Totalitas. Namanya: Total Football.

Para pembaca yang budiman, indah bukan cara berpikir orang Belanda seperti yang digambarkan di atas? Sebuah konsep berpikir praktis tapi optimal. Menggunakan segala apa yang dia punya, dan tanpa mengeluh justru mengolahnya dalam benak mereka dan menjadikannya sebagai afirmasi untuk mewujudkan segala keinginan. Inilah sebuah sikap yang selama ini kita kenal dalam agama kita sebagai Rasa Syukur.

Prof Quraish Shihab menuturkan bahwa salah satu makna pengertian syukur adalah: “Merasa puas dengan yang sedikit, dan membalasnya dengan lebih baik”.

Karena itu bahasa Arab juga menggunakan kata syukur untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan  “Asykar min barwaqah” (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan. Dan pada makna inilah Allah menyebut diriNya dengan “As-Syakir”, yang berarti Dzat yang maha bersyukur. Dalam arti bahwa Allah maha membalas segala ibadah hamba-Nya yang meskipun sedikit, dengan pahala yang lebih banyak berlipat-lipat.

Merasa Cukup. Inilah kunci utamanya, seseorang yang sud
ah merasa cukup dengan apa yang dia miliki, akan serius fokus bekerja dan berbuat meskipun dengan sedikit yang dia miliki itu. Sebaliknya, seseorang yang tidak merasa puas dengan miliknya, waktu dan tenaganya hanya akan habis dalam iri, dengki dan dendam melihat kenikmatan yang dianggapnya lebih dari orang lain. Padahal sungguh, Allah sudah mencukupkan rezekinya dengan begitu sempurna.

Maka secara otomatis, janji Allah untuk menambah nikmatNya kepada hamba-hambaNya yang bersyukur, akan terbukti. Pola pikir orang Belanda di atas adalah contohnya. Mereka puas dengan kondisi negara mereka. Dan cukup membayangkan di benak mereka bahwa kota dan negeri mereka luas. Maka perilaku merekapun mengikuti. Mereka bekerja dalam luasnya harapan meski dalam sempitnya lahan.

Mereka berbuat secara maksimal meskipun dalam kondisi alam yang minimal. Mereka merasa mengendarai mobil, meskipun kenyataanya mengendarai motor. Mereka bersikap seolah-olah mereka hidup di negeri seluas negeri kita, meskipun hakekatnya luas negeri mereka tak lebih luas dari Pulau Jawa. Mereka berpikir positif, penuh semangat optimis, sehingga menciptakan kreativitas yang berkualitas.

Dan kitapun bisa melihat hasilnya. Perilaku dan pola pikir penuh rasa syukur itu telah membawa negeri kincir angin tersebut menjadi salah satu negara raksasa ekonomi di Eropa. Mereka justru telah membuktikan bahwa janji Allah di atas adalah nyata, bahwa siapapun yang bersyukur, merasa cukup dan puas dengan pemberian Allah, maka sebuah keniscayaan bahwa nikmat itu akan bertambah dengan sendirinya.

Subhanallah.

Sungguh malu diri ini. Karena pesan Allah itu sesungguhnya ditujukan kepada kita. Dan kita juga yang begitu sering membacanya, kita jualah yang paling mengerti maknanya. Tapi ternyata bangsa lain yang terlebih dahulu menemukan hikmahnya.

Wallahu alam.

*Terinspirasi dari sebuah tulisan Liza Arifin di kolom olahraga www.detik.com berjudul : “Totalitas total Football”