[:ID]SAMARINDA. Matahari masih enggan untuk beranjak dari peraduannya, namun Santoso harus bergegas untuk bekerja. Pekerjaan Santoso sangat mulia, yaitu membantu orang lain dengan mobil ambulan. Ahad pagi, (23/04) ia mendapatkan permintaan pelayaanan ambulan dari warga asal Kutai Kartanegara, Samarinda.
“Iya saya dimintai tolong mengantarkan jenazah ke tempat tinggalnya di daerah Mahakam Hulu. Daerah sana memang terkenal dengan medan perjalanannya yang cukup sulit, jadi saya butuh persiapan khusus seperti sepatu boot,” ungkap Santoso.
Santoso yang biasa dipanggil paman Doblang menjemput jenazah dari RSUD AW Sjahranie, Jalan Palang Merah Indah No.1, Sidodadi, Samarinda Ulu menuju wilayah Mahakam Hulu, Kec. Kembang Janggut, Kutai Kartanegara. Untuk mencapai tujuan, Santoso harus melewati medan yang sulit dengan total jarak tempuh sekitar 150 km.
“Medan yang saya lewati memang cukup sulit. Melewati sungai, persawahan dan jalan yang sempit terus licin. Apalagi jembatan yang biasa dipakai nyebrang putus. Akhirnya naik kapal tradisional yang sering disebut klothok,” ujar Santoso atau kerap disapa Paman Doblang.
Santoso menyatakan bahwa sesulit apapun medan yang ia tempuhnya, tidak akan pernah mengurangi rasa semangatnya untuk tetap menjalankan amanah dan membantu meringankan beban orang lain dengan jasanya.
Newsroom/Dian Ekawati
Samarinda
[:en]
SAMARINDA. The sun is still reluctant to move from his bed, but Santoso must hurry to work. Santoso’s job is very noble, that is to help others with ambulances. On Sunday morning (23/04), he received an ambulance request from residents from Kutai Kartanegara, Samarinda.
“Yes I was asked to deliver the corpse to his residence in the area of Mahakam Hulu. The area there is famous for its travel field is quite difficult, so I need special preparations such as boots, ” Santoso said.
Santoso who is commonly called Uncle Doblang to pick up the body from AW Sjahranie Hospital, Jalan Palang Merah Indah No.1, Sidodadi, Samarinda Ulu to Mahakam Hulu area, Kembang Janggut district, Kutai Kartanegara. To achieve the goal, Santoso must pass through a difficult terrain with a total distance of about 150 km.
“The field I passed was quite difficult. Past the river, paddy fields, narrow roads and slippery, moreover, the bridge commonly used to cross is damaged. Finally I decided aboard a traditional ship that is often called klothok” said Santoso.
Santoso stated that as difficult as any field he takes, it will never reduce his sense of enthusiasm to keep running the trust and help ease the burden of others with his services.
Newsroom/Dian Ekawati
Samarinda[:]