BAGAIMANA CARA PERHITUNGAN ZAKAT MAHAR ATAU MASKAWIN YANG DISIMPAN?

oleh | Mar 25, 2022 | Inspirasi

Sahabat Zakat yang dirahmati Allah, maskawin dalam bahasa arab disebut dengan “mahar” dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan maskawin atau mahar itu dengan: “Pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.” Kata mahar dalam Al Quran tidak ditemukan, yang digunakan adalah kata shadaqah, sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat 4: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Para ulama berbeda pendapat tentang zakat maskawin atau mahar.

Pertama: Imam Abu Hanifah berpendapat pada prinsipnya mahar bagi wanita tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena ia merupakan ganti dari sesuatu yang bukan berbentuk harta. Kecuali kalau ia mencapai nishab dan haul (berlalu satu tahun). Dan juga jika selain mahar itu ada harta lain, maka mahar yang jumlahnya tidak mencapai nishab hendaklah digabung dengan harta yang lain dan dikeluarkan zakatnya menurut perhitungan tahunnya.

Kedua: Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita itu wajib mengeluarkan zakat maharnya jika telah cukup haul (satu tahun), sekalipun dia belum dicampuri (jima’) oleh suaminya, atau apakah mahar itu mungkin gugur dikarenakan fasakh, murtad atau karena perceraian.

Ketiga: Golongan Hambali berpendapat mahar itu wajib dikeluarkan zakatnya, tidak ada bedanya sebelum atau gugur disebabkan terjadi perceraian sebelum campur. Maka wajib dikeluarkan zakatnya yang diterimanya dan tidak wajib mengeluarkan zakatnya dari mahar yang tidak diterima. (Fiqh Al Sunnah karya Sayyid Sabiq, jilid 1, hal. 476-477).

Jika diperhatikan dan dipahami, tiga pendapat para ulama di atas, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya mahar itu wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nisabnya dan sudah cukup satu tahun kepemilikannya, walaupun masing-masing dari para ulama tersebut tidak mengemukakan alasannya secara detail. Tapi yang jelas mereka mengatakan kalau harta mahar itu tidak cukup senisab, harus digabung dengan harta yang sudah ada agar cukup senishab. Jadi zakat harta mahar disamakan dengan zakat harta lain.

Meskipun Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qardhawi berbeda dalam cara pengeluarannya, yaitu dikeluarkan ketika seseorang memperoleh mahar tersebut apabila sudah mencapai nisabnya. Beliau menjelaskan: “Jika dilihat maskawin adalah berbentuk harta yang didapat tidak dengan usaha, karena dia berbentuk harta perolehan, yaitu pemberian wajib oleh suami kepada isterinya yang merupakan syarat sah nikah. Mengenai harta perolehan ini dijelaskan bahwa kekayaan yang masuk ke dalam pemilikan seseorang yang sebelumnya tidak ada. Seperti pemberian atau sejenisnya, wajib zakat begitu diperoleh bila sampai senisab, dan ini tidak dipertentangkan apapun.” (Hukum Zakat, hal. 164).

Pada dasarnya sebagaimana pendapat para ulama di atas bahwa harta maskawin apabila memenuhi persyaratan untuk zakat, wajib dikeluarkan zakatnya. Maskawin banyak bentuknya, bisa dalam bentuk uang, emas, rumah, mobil, dan sebagainya. Dengan demikian harta maskawin yang harus dikeluarkan zakatnya bukan karena semata-mata maskawinnya yang harus dizakati, tetapi karena maskawin tersebut merupakan sumber zakat yang harus dizakati, seperti emas dan uang. Harta maskawin itu harus dikeluarkan zakatnya oleh yang menerimanya, yaitu istri, dengan syarat dan ketentuan sebagaimana sumber zakat lainnya. Karena maskawin itu sendiri adalah milik penuh bagi istri, maka istrilah yang wajib mengeluarkan zakatnya. Walaupun sebelum diberikan kepada istri sudah dikeluarkan zakatnya oleh suami, itu berarti zakat harta suami. Sewaktu diberikan kepada istri, harta tersebut berubah kepemilikan, menjadi hak milik penuh istri.

Dengan demikian, harta maskawin wajib dizakatkan apabila memenuhi syarat-syarat wajib zakat, dengan alasan :

  • Karena maskawin tersebut merupakan pemberian wajib oleh suami kepada istri diwaktu akad nikah, yang merupakan syarat sah nikah, oleh sebab itu termasuk harta yang diperoleh dengan cara baik.
  • Karena tidak ditemukan perbedaan pendapat ulama, dengan arti kata tidak ada ulama yang mengemukakan pendapatnya bahwa harta maskawin tidak wajib dizakatkan.

Mengenai berapa nisab, presentasi, dan waktu mengeluarkan zakatnya, dalam hal ini harus diketahui terlebih dahulu bentuk atau jenis harta mas kawinnya. Maskawin dalam jumlah besar mungkin saja terdiri dari beberapa jenis harta benda. Oleh sebab itu cara mengitung nisab, persentase, dan waktu mengeluarkan zakatnya terdapat perbedaan, karena tergantung kepada bentuk dan jenis harta maskawin itu sendiri.

  1. Kalau maskawin itu emas perhiasan, cara mengeluarkan zakatnya sama dengan zakat perhiasan emas, yaitu tidak harus sampai senisab, dan tidak harus menunggu satu tahun kepemilikan, dikeluarkan 2,5%.
  2. Kalau maskawin itu emas yang bukan perhiasan, atau uang tabungan, maka harus sampai senisab (85 gram) emas, dan sudah dimiliki satu tahun hijriyah, zakatnya 2,5%.
  3. Jika maskawin tersebut tidak berbentuk emas, nilai hartanya cukup banyak, hal ini harus diteliti terlebih dahulu. Apakah harta tersebut termasuk harta memenuhi kriteria wajib zakat atau tidak. Seperti rumah atau mobil untuk dipakai sendiri, walaupun harganya lebih mahal dari senisab emas, harta maskawin tersebut tidak wajib dizakatkan. Tetapi jika rumah dikontrakkan dan mobil tersebut direntalkan, penghasilannya kalau sudah cukup senisab, dan cukup satu tahun baru dikeluarkan zakatnya.

Semoga penjelasannya bermanfaat. Wallahu a’lam bishawwab

oleh: Ustaz Kardita Kintabuwana (Dewan Pengawas Syariah Rumah Zakat)

 

Perasaan kamu tentang artikel ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0