[:ID]Oleh: Hasan Basri Tanjung
Manakala bulan Rabiul Awal tiba, kerinduan kepada Nabi Muhammad SAW pun semakin membara. Kelahiran manusia pilihan itu pada 12 Rabiul Awal, selalu disambut dan diramaikan dengan peringatan Maulid Nabi di berbagai penjuru negeri. Tiada lain, kecuali menampakkan kegembiraan dan syukur, sekaligus mengenang perjuangannya menebarkan Islam di muka bumi.
Momentum yang membuat penulis teringat akan masa kecil dahulu di kampung halaman, Labusel Sumatra Utara. Sebelum tausiah Tuan Guru, selalu dibacakan Kitab Maulid al-Barzanji karya Sayyid Ja’far al-Barzanji. Untaian syair nan indah disenandungkan dengan merdu dan mendayu, membuat jamaah larut dalam haru. Bahkan, tidak sedikit yang berlinang air mata karena kagum kepada junjungan alam dan teladan umat manusia sepanjang zaman. (QS 33:21).
Apalagi, ketika sampai pada bait, “hadhoro ummahu lailata maulidihii asiatu wa maryamu fii niswatin minal hadziiratil qudsiyyah. Wa akhaza haal makhadu fa waladathu shallallahu ‘alaihi wasallama nuuran yatala`lu sanaah”. (Maka, pada malam kelahirannya, datanglah Siti Asiyah dan Siti Maryam bersama para bidadari suci dari surga menemui ibunya. Kemudian, tibalah saat kelahirannya, Siti Aminah melahirkan Nabi SAW yang bergelimang cahaya). Lalu, semua hadirin pun berdiri sambil melantunkan shalawat dengan penuh kesyahduan.
Dalam sebuah perkuliahan di Kampus IUQI Bogor beberapa hari lalu, seorang mahasiswa sempat bertanya. “Untuk apa bershalawat kepada Nabi SAW, jika Beliau telah dilimpahi rahmat dan ampunan?” Sejatinya, selain menaati perintah Allah SWT, juga menunjukkan adab dan penghormatan. Tentunya, shalawat kita tidak akan menambah kemuliaannya, justru akan mengalirkan kebaikan kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti (syafa’at).
Sebab, Allah SWT telah berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS 33:56). Prof Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, makna shalawat sebagai rasa hormat kepada Nabi SAW. Bukan hanya di kala hidup, melainkan juga setelah wafatnya. Ketika Allah bershalawat, itu berarti pujian, berkah, dan rahmat. Malaikat bershalawat bermakna mohon ampunan Allah SWT.
Abu Hurairah RA meriwayatkan dari Nabi SAW, “Barang siapa yang bershalawat untukku sekali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.” (HR Muslim). Karena itu, ketika nama beliau disebutkan, sepatutnya kita sahut dengan shalawat dan salam serta keberkahan. “Sesungguhnya manusia yang paling bakhil ialah ketika disebut namaku di sisinya, tapi dia tidak mengucapkan shalawat untukku.” (HR Ismail al- Qadhi).
Adab kita kepada Nabi SAW, harus dibuktikan dengan meyakini kenabiannya, mengikrarkan, menyebut namanya, menjalankan sunah, mengajarkan, dan menceritakan tentang dirinya. Indikator adab yang paling terukur adalah pengamalan tujuh sunnah harian, yakni menjaga wudhu, shalat tahajud, shalat berjamaah, tadabur Alquran, shalat dhuha, puasa senin-kamis, dan sedekah.
Dengan kerendahan hati kita lantunkan shalawat kepadanya. “Yaa Nabi salam ‘alaika, Yaa Rasul salam ‘alaika, Yaa Habib salam ‘alaika, shalawatullah ‘alaika. Allahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaih”. Insya Allah, kerinduan hati akan terobati ketika duduk bersimpuh di makamnya, di Tanah Suci Madinah al- Munawwaroh, aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber: republika.co.id[:en]
By: Hasan Basri Tanjung
As the beginning of month Rabiul arrived, the longing for the Prophet Muhammad (PBUH) was increasingly burning. The birth of a chosen human being at 12 Rabiul Awal, is always welcomed and enlivened by the commemoration of the Prophet’s Birthday in various parts of the country. Nothing but expressing joy and gratitude, as well as remembering his struggle to spread Islam on the face of the earth.
In a lecture at the IUQI Campus in Bogor a few days ago, a student had a question. “Why pay tribute to the Prophet (PBUH), if he has been overwhelmed with mercy and forgiveness?” In fact, besides obeying Allah’s commands, it also shows adab and respect. Of course, our blessings will not add to his glory, it will instead bring goodness to us, both in the world and in the hereafter later (syafa’at).
Because, Allah SWT has said, “Verily, Allah and His angels pray for the Prophet. O people those who believe, pay tribute to the Prophet and say hello with full respect to him,” (Qur’an 33:56). Prof. Buya Hamka in Tafsir al-Azhar explained, the meaning of blessing as respect to the Prophet (PBUH) does not only include when he lived but also after his death. When Allah pays tribute, it means to praise, blessings, and mercy. The angels giving their prayers means asking for forgiveness from Allah SWT.
Abu Hurairah RA narrated from the Prophet (PBUH), “Whoever prays for me once, then Allah will make it for him ten times.” (HR Muslim). Therefore, when his name is mentioned, it is fitting that we respond with prayers, greetings and blessings. “Indeed, the stingiest man is when my name is mentioned on his side, but he did not say blessings to me.” (HR Ismail al-Qadhi).
Our etiquette to the Prophet SAW, must be proven by believing in his prophethood, pledging, naming his name, practicing his sunnah, teaching, and spread stories about him. The most measured indicators of etiquette are the seven daily sunnah practices, namely maintaining ablution, tahajud prayer, congregational prayer, tadabur Alquran, dhuha prayer, fasting Monday-Thursday, and almsgiving.
With humility, we recite prayers to him. “O Prophet salam ‘alaika, Yaa Rasul salam’ alaika, Yaa Habib salam ‘alaika, shalawatullah’ alaika. Allahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaih”. Insha Allah, the longing of the heart will be relieved when kneeling down in his grave, in the Holy Land of Madinah al-Munawwaroh, Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.
source: republika.co.id[:]