Kopi Tuli berdiri pada 12 Mei 2018, telah menjadi wadah untuk memberdayakan teman-teman tuli. Selain itu, Kopi Tuli juga terus aktif dalam meningkatkan lingkungan yang ramah disabilitas.
Kopi Tuli didirikan oleh tiga sahabat, yakni Andhika Prakoso, Tri Erwinsyah Putra, dan Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso.
Berlokasi di Depok dan Duren Tiga, kedai Kopi Tuli punya ciri khasnya sendiri. Sebagai contoh, pada gelas minuman terdapat gambar Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
Andhika menjelaskan, gambar BISINDO yang ada di gelas tersebut hadir sebagai identitas Kopi Tuli. Selain itu, Andhika juga ingin masyarakat luas bisa lebih mengenal dan tertarik untuk belajar bahasa isyarat.
“Sejauh ini, respons konsumen sangat senang dan mereka jadi penasaran untuk mempelajari bahasa isyarat. Untuk itu, saya juga kerap mengajarkan orang-orang belajar bahasa isyarat. Contohnya, saat ada konsumen datang, mereka pesan minum, lalu saat mereka duduk-duduk dan tertarik untuk belajar bahasa isyarat, saya akan datang dan mengajari mereka,” jelas Andhika dikutip dalam kanal YouTube Filantropi, Selasa (9/5).
Pada kesempatan yang sama, Erwin mengatakan bahwa tantangan utama yang kerap dihadapi pegawai Kopi Tuli adalah berkomunikasi dengan konsumen.
Erwin mencontohkan, saat ada konsumen dengar berbicara dengan cepat saat memesan makanan, Erwin cukup kesulitan untuk memahami apa yang diucapkan oleh konsumen tersebut.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Erwin terkadang meminta konsumen untuk mengetik pesanan di ponsel atau kertas. Selain itu, Erwin juga kerap meminta konsumen untuk bicara lebih perlahan.
Selain kendala dalam berkomunikasi, tantangan lain yang kerap dihadapi oleh pegawai Kopi Tuli, adalah banyaknya orang-orang dengar yang masih mengejek teman tuli.
“Mereka juga masih banyak yang belum paham mengapa kami memakai kata “Tuli”. Jadi penggunaan kata “Tuli” sebenarnya merujuk kepada komunitas tuli yang mereka mempunyai identitas sendiri,” jelas Erwin.
Tidak hanya fokus untuk mengedukasi masyarakat dengar, Kopi Tuli juga menjadi wadah tersendiri untuk memberdayakan teman tuli.
Untuk itu, Kopi Tuli hanya mempekerjakan karyawan tuli sebagai barista di kedainya. Menurut Erwin, pemberdayaan komunitas tuli dilakukan agar mereka bisa bekerja dan mandiri secara ekonomi.
Di dalam waktu singkat, Kopi Tuli berhasil mendapatkan banyak respons positif dari masyarat luas, bahkan sebelum pandemi melanda Kopi Tuli bisa membukukan omzet sampai lebih dari Rp100 juta per bulan.
Selain mereka bertiga, Andhika menjelaskan peran orang tua masing-masing dan pelanggan setia cukup krusial dalam membangun Kopi Tuli.
Demi memberikan yang terbaik bagi para pelanggan, para pemilik Kopi Tuli kerap mengadakan kegiatan khusus. Mulai dari pelatihan, workshop, sampai kajian.
Melalui kegiatan tersebut, Kopi Tuli berkomitmen untuk mengedukasi masyarakat agar mereka sadar bahwa orang-orang disabilitas juga punya kemampuan mumpuni dan bisa bekerja.
Ke depannya, Erwin mengatakan bahwa Kopi Tuli terus berencana untuk memberikan pelatihan barista dan pelatihan untuk membuat roti kepada konsumen. Kopi Tuli juga ingin melakukan sosialisasi bahasa isyarat ke beberapa sekolah umum.
Untuk jangka menengah, Kopi Tuli berencana ingin membuka lebih banyak cabang di Jabodetabek dan daerah lainnya.
Di sisi lain, untuk rencana jangka Panjang Kopi Tuli ingin menjadi rumah produksi dan distribusi bahan baku.
“Saya mau berpesan agar teman-teman tetap semangat, serta semoga teman-teman tuli bisa semakin maju dan semakin sukses. Selian itu, semoga masyarakat terus mendukung dan memberikan semangat kepada teman-teman disabilitas, sehingga Indonesia bisa menjadi ramah disabilitas,” tutup Erwin.